Dalam beberapa minggu ini, selain masalah-masalah anak yang khas dalam liburan, dalam penerimaan murid baru, dalam polemik susu kental manis, jauh di lorong kegelapan sana masih segar dalam ingatan anak-anak yang kini sedang dilanda peliknya kehidupan. Mereka yang diamankan aparat dalam kasus prostitusi di Apartemen kali Bata City Jakarta Selatan.
Bukan hal yang mengejutkan, begitu kira-kira ujaran orang-orang mendengar peristiwa itu. Padahal sedemikian rumit masalah prostitusi yang melibatkan anak menjadi korban sindikat perdagangan anak di Indonesia, bahkan di dunia.
Dalam kasus terbaru 3 anak dari Depok diamankan dan kini telah dipulangkan ke keluarganya. Hal ini merupakan alarm jekahatan seksual pada anak kian menampakkan ragam upaya buat menjerat mangsanya yang makin muda, makin tidak berdaya, apalagi usia anak.
Data tahun 2018 prostitusi yang melibatkan anak di KPAI tercatat mencapai 41 kasus, dengan latar belakang yang beragam pula. anak-anak ini berkisar usia 16 sd 18 tahun. Dalam UU No 35/2014 tentang Perlindungan Anak mereka adalah usia anak yang seharusnya menikmati kehidupan, tumbuh kembang dan partisipasi serta dalam perlindungan orangtua, pemerintah daerah, pemerintah pusat, hingga masyarakat. Namun sayangnya, ada sekelompok orang yang mengajak, merayu, menempatkan, membiarkan, melakukan dan merekrut mereka untuk terjun dalam bisnis haram yang fantastis di Jakarta ini.
Mengapa anak-anak dilibatkan?
Jelas ini menunjukkan sistem ketidakberdayaan anak-anak ini berada dalam situasi sulit dan terencana masuk dalam sindikat tersebut. Kasus perdagangan anak, merupakan masalah industri paling tradisional di dunia, dimana perbudakan, penghambaan, dan eksploitasi seksual menjadi ciri khas sindikat ini.
Anak-anak tersebut berlomba-lomba mengikuti ajakan para germo/mucikari dalam himpitan ekonomi yang tidak mudah, saat orang tua sakit dan lemah. Kemudian saat gelora puberitas mengkerangkeng kemauan yang tidak bisa dialihkan.
Benar sekali, gaya hidup yang super mewah, kefoya-foyaan dan materialism menjadi kunci mewabahnya hedonisme dikalangan remaja untuk ingin bebas menikmati hidup. Kenyataan ini dimanfaatkan kelompok sindikat agar mereka menemukan jalan keluar instan yang sangat membahayakan bagi dirinya.
Berikutnya, keterbelakangn, kebodohan, dan putusnya pendidikan kerap menggiring pola pikir yang kerdil dan tanpa berpikir panjang anak-anak ini mengikuti siapapun yang mengajak mereka untuk terlibat dalam lembah nista. Oleh sebab itu, anak -nak ini butuh ditegur, diawasi, diperhatikan dan diasuh secara intensif. Mereka bukanlah anak-anak nakal, brutal, dan tidak tahu jalan pulang. Mereka butuh diarahkan, dicegah dan dibimbing agar tidak mudah terbujuk rayu.
Mata kita adalah mata kasih sayang. Masyarakat, pemerintah daerah dan inti keluarga memiliki kewajiban vital untuk mencegah terjadinya prostitusi yang melibatkan anak. Sebelum terlambat, hentikan langkah anak-anak jika mengarah pada perilaku tersebut, berikan edukasi positif untuk memberikan wawasan dan pemahaman bahwa hal itu sangat merugikan.
Para mucikari dan para penikmat (predator anak) akan menerima konsekwensi dari itu semua, yakni dalam UU No 21/2007 tentang PTPPO dan UU No 35/2014 tentang PA bahwa memperdagnagkan anak akan diganjar penjara 3 sd 15 tahun, dan denda.