Dalam data, KPAI mereview trend kasus trafficking dan eksploitasi anak di awal tahun 2018 meliputi anak korban trafficking 8 kasus, anak korban eksploitasi seks komersial anak 13 kasus, anak korban prostitusi 9 kasus dan anak korban eksploitasi ekonomi 2 kasus dan akumulasi dari tahun 2011-2017 sebanyak 1.758 kasus. Jumlah tersebut menjadi bola salju jika melihat akumulasi data Bareskrim POLRI bidang PTPPO 2011-2017 menunjukan angka 422 kasus anak korban kejahatan trafficking dengan modus tertinggi yakni eksploitasi seksual. Begitu pula data yang dihimpun IOM (international organization for migration) yang menunjukkan tahun 2005 sampai 2017 sebanyak 1.155 korban anak.
Dalam UU No 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak sangat jelas dikatakan pentingnya melibatkan dunia usaha dalam perlindungan anak. Konteks Trafficking dan eksploitasi anak memiliki sanding area yang tidak terlalu jauh dengan perdagangan orang pada umumnya. Tempat-tempat seperti perhotelan, Diskotik, Karaoke, Pub dan Club Malam merupakan tempat rawan terjadinya eksploitasi seksual pada anak.
Padahal, sektor tersebut merupakan ujung tombak kota-kota besar dalam meningkatkan pendapatan daerah melalui sektor pariwisata. Bagaimana agar pengelola wisata tetap merasa nyaman bekerja namun juga memiliki komitmen pada perlindungan anak?
Pertama edukasi dari berbagai pihak terutama Kementrian dan Lembaga yang memiliki tugas dan fungsi pada Pariwisata dan Perlindungan anak. Para pelaku bisnis apalagi hiburan harus diajak berdialog, berkomitmen dan membangun kesepahaman untuk memiliki wawasan, kepedulian, hingga gerak pencegahan pada terjadinya tindak kejahatan eksploitasi pada anak. Sebagai langkah kongkrit mereka harus memiliki tekad TIDAK mempekerjakan anak karena anak akan merasa terganggu baik fisik, psikologis, mental dan pengaruh buruk dalam hidupnya. Bagaimana tidak, anak akan melihat, menyaksikan sehari-hari perilaku orang-orang dewasa di area tersebut. Jelas hal ini akan berdampak buruk pada perkembangannya.
Kedua, memahami dan mengimplementasi norma pariwisata yang dibuat oleh Kemenpar bahwa gerakan sadar pariwisata didasarkan pada larangan dan pencegahan eksploitasi pada anak, sehingga setiap pengelola dan pelaku bisnis harus mematuhi kebijakan tersebut. Selain itu UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menyatakan bahwa pengusaha tidak boleh mempekerjakan anak. kemudian mengatur anak-anak yang dibolehkan bekerja sekurang-kurangnya 14 tahun apabila jenis pekerjaannya ringan, ada izin dari walinya, tidak lebih dari 3 jam dan berkaitan dengan pendidikan dan latihan. Waktu yang tidak boleh digunakan jelas dalam Permenaker yakni pukul 18.00 sore sampai pukul 06.00 pagi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H