Lihat ke Halaman Asli

Ai Maryati Solihah

seorang Ibu dengan dua orang anak

"Human Trafficking" Gaya Baru, Eksploitasi Siswa Berkedok Magang

Diperbarui: 4 April 2018   03:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

witf.org

Dalam beberapa hari ini publik dikagetkan dengan laporan investigasi Koran Tempo bahwa Indonesia sedang dilanda darurat trafficking, yakni penjualan manusia dengan beragam modus, yang salah satunya adalah magang di luar negeri. Tak tanggung-tanggung angkanya mencapai 600 anak ditempatkan di Malaysia dengan jenis pekerjaan yang buruk di perusahaan Walet, dengan jam kerja mencapai 18 jam perhari dan perlakuan tidak manusiawi di Malaysia

Problem trafficking di Indonesia harus diselesaikan sampai akar persoalannya karena sangat berkelindan dengan problem kemiskinan, sulitnya lapangan kerja, hingga kurangnya kesadaran akan pentingnya perlindungan anak. Maka eksploitasi anak dalam dunia kerja menjadi akibat dari sejumlah kebijakan yang kurang ramah anak pula.

Saat ini pelaku sudah menjadi terdakwa dan sedang disidangkan di PN Semarang untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya sejak tahun 2009. Untuk itu, penting membangun hubungan kerja dengan Luar negeri di Negara manapun lebih mengutamakan perlindungan pekerja Migran Indonesia. 

Program magang sesungguhnya bukan bekerja sepenuh waktu, ia hanya program pendidikan untuk menyiapkan tenaga yang siap pakai di masyarakat. Hendaknya peristiwa ini mengangkat daya kritis sekolah dan orang tua untuk semakin mewaspadai dan berhati-hati dalam menerima penawaran magang kepada siswa.

Berikutnya, kasus ini hendaknya melihat sisi perlindungan anak menjadi domain utama, bagaimana anak tidak boleh dirampas hak pendidikannya oleh beban yang sangat berat yang justru akan merusak tumbuh kembang dan fisik serta psikisnya. 

Pemerintah harus memastikan anak-anak ini sehat dan dapat kembali ke tanah air dengan selamat tanpa kurang suatu apapun. Mereka butuh rehabilitasi fisik, kesehatan dan lahirnya, serta mental Psikologis memastikan keadaan bathinnya. Oleh sebab itu, sejauh mana mereka sudah ditangani untuk memastikan jaminan keselamatan jiwanya.

Yang penting lagi, proses pemulangan dan reintegrasi anak dari Malaysia ini harus disertai perlindungan hak restitusinya, PP no 43 tahun 2017 mengisyaratkan bahwa anak dalam kondisi dieksploitasi baik oleh individu apalagi korporasi, perusahaan atau industri harus menerima ganti rugi sesuai dengan kerugian yang dia alami.

Semoga kasus ini menjadi trigger bagi Polisi dan Pemerintah untuk mengungkap bagaimana korporasi berbau trafficking ini sudah sedemikian dekat menggaet anak-anak bangsa dan mengeksploitasinya untuk kepentingan ekonomi mereka. Kemenlu harus mendesak Konjen Malaysia untuk mempertanggungjawabkan peristiwa ini disamping revitalisasi pengawasan perusahaan yang berada dalam kasus ini. Semga hukum akan bicara seadil-adinya dan berpihak pada keadilan korban.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline