Lihat ke Halaman Asli

Ai Maryati Solihah

seorang Ibu dengan dua orang anak

Sadarlah Ortu yang Cekokin Anaknya Miras!

Diperbarui: 7 Desember 2017   12:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Peraturan Pemerintah No 44 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Pengasuhan Anak yang baru saja terbit akan segera diuji, sebesar apa manfaat dan implementasinya untuk masyarakat. Sebab pengetahuan pengasuhan dan peraturan yang benar sangat dibutuhkan. Negara harus hadir menjawab realitas kekinian yang semakin menyimpang dari akal sehat, meletakkan kemanusiaan untuk kepentingan-kepentingan yang tidak penting. 

Beberapa Video viral belakangan ini yang menggambarkan orang dewasa mempermainkan anak-anak (apalagi anak kandungnya) sangat mengganggu pikiran. Jenis kekerasan apakah ini kalau mau kita katorikan?  kok bisa orang tua melakukan hal tersebut? pertanyaan tersebut kerap mewarnai kewarasan kita menyaksikan video Bapak (kandung) yang mencekoki Miras dan anak yang dilakban tangan mulut dan kakinya sampai menangis terisak, lalu ditertawakan oleh orang disekitarnya. Ada apa dengan manusia sekarang, kok sedemikian anehnya?

Selain bentuk kekerasan Fisik, Psikis dan eksploitasi dalam tayangan itu yang menarik adalah motif dan pergeseran budaya yang kini sudah mengarah pada bentuk kejahatan kemanusiaan yang mengidap di alam bawah sadar sebagian manusia. mengapa? karena mereka memiliki alibi untuk popularitas atau bahkan benefit dari Medsos dengan perilaku tersebut.Unsur kekerasan Fisik bisa kita saksikan dengan telanjang bahwa anak-anak ini menderita, apalagi yang miras denngan ekspresi polos komat kamit seperti merasakan benda aneh menusuk hidung dan rasa aneh di mulutnya, lalu anak yang dilakban sampai sesunggukan menangis, benar-benar memperlihatkan ketidaknyamanan dan penderitaan fisik dari tindakan orang tersebut.

Secara Psikis, mengutip apa yang dikatakan Psikolog keluarga Mba Ajeng Raviando selain anak merasakan tekanan psikologis dari perilaku tersebut juga akan berdampak pada memorinya yang terus mengingat peristiwa itu, pengaruhnya adalah  akan membenarkan bahkan meniru perbuatan tersebut pada orang lain. Disinilah konsep diri anak akan membentuk pribadi buruk dan terbiasa melakukan kekerasan. Hal ini akan terlihat setelah sekian lama proses dalam diri anak berjalan. Sedapat mungkin  anak harus diimbangi oleh pengalaman baik dan jauh serta terhindar dari perilaku itu lagi.

Kemudian kekerasan yang bersifat eskploitatif adalah ketika tindakan pada anak tersebut dimotivasi oleh keinginan-keinginan yang di luar kemanusiaan, misalnya memperoleh keuntungan secara ekonomi agar dapat benefit dari media tertentu dengan berjuta LIKE atau Coment, atau mendapat popularitas dan akan menjadi bintang media sosial bahkan kepuasan-kepuasan yang irrasional untuk kepentingan pribadinya. 

Sebagai orang tua hendaklah lebih memiliki kesiapan mental dan prinsip-prinsip sebagai orang dewasa yang selalu perlu pendidikan untuk keluarga, apalagi pengasuhan untuk buah hati agar terhindar dari sikap berbahaya seperti di atas. Persiapan perkawinan bukan hanya didasarkan pada seberapa besar maharmu dan uang pestamu, namun siapkan diri untuk mendayung bahtera diantar tantangan zaman ini.

Media teknologi bukan untuk menjadikan imazinasimu berselancar dengan menerabas norma etika bahkan peraturan perundang-undangan, apalagi dibuat main-main, kekinian, gaya zaman NOW atau apalah...karena kemanusiaan adalah kemanusiaan, bukan untuk ditawar apalagi dibuat rekreatif mengorbankan harkat martabat manusia apalagi anakmu sendiri. Kaji lah diri kita dengan pendidikan sebagai orang tua yang baik, kreatif, inovatif dan berakhlakul karimah.

Bekali oleh keterampilan sebagai orang tua, dan lebih baik lagi mengasuh buah hati, karna hukum tak akan segan-segan mengunci orang seperti itu. Perli diingat, seperti dalam pasal Larangan kekerasan fisik, psikis tercantum dalam UU No 35/2014 bahwa mereka akan diganjar pidana maksimal 3 tahun 6 bulan. Bisakah hukum berdiri? komitmen kita semua untuk menyuarakannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline