Anak-anak SMA/Madrasah kelas XII baru saja selesai UN. Salah satu standar pendidikan untuk kelulusan telah diraih meski kehawatitan seputar UN terus mengemuka dari mulai persiapan infrastruktur apalagi yang berbasis Komputer hingga kebocoran soal yang kerap mewarnai dan ketidakjujuran peserta ujian yang didukung oleh polah Guru dan orang tua sehingga jadilah UN yang melanggar sederet fakta, dari penyuapan, jual beli kunci jawaban dan hadirnya oknum guru yang turut mensukseskan transaksi tersebut. UN pun dijadikan komoditi tahunan yang memprihatinkan sehingga dianggap menjadi salah satu gagalnya indikator pendidikan kita.
Untuk saat ini isu kelulusan UN bergeser. Dari problematika substansial tadi di atas kini menjadi problem teknis yang juga tidak kalah hebatnya. Bisa kita bayangkan sekolah yang menunda Ujian dikarenakan listrik mati dan teknis server yang tidak mau logg in, siapa yang bisa disalahkan, sementara teknisi dan pengawas sudah berpacu menyelesaikan masalah tersebut. Yang terjadi adalah penguluran waktu dan perlahan tapi pasti waktu ujian akan tiba dan dilaksanakan sesuai prosedur, meski molor.
Standar kompetensi kelulusan dengan UN ini bukan satu-satunya indikator, melainkan hanya menduduki 60% dari 100% kelulusan. Sisanya dari kompetensi Ujian sekolah yang sebelumnya di selenggarakan. Kekhawatiran akan adanya stress, depresi dan persesiapan berlebihan untuk kelulusan sudah tidak seharusnya dirasakan oleh siswa, orang tua dan sekolah. Kini yang paling krusial adalah bagaimana menginternalisasi kelulusan siswa dari sisi karakter building. Sebab, kelulusan ini akan menjadi pertanda akan masuknya fase sekolah kepada universitas dan kepada lingkungan kerja, bahkan kepada masyarakat sebermula ia berangkat. Pada sisi ini sekolah/madrasah harus mampu meyakinkan peserta didik bahwa mereka sudah siap untuk memasuki fase tersebut.
Disitulah tujuan utama pendidikan yang sesuai dengan UU Sisdiknas No 20/2003. Standar kelulusan pada siswa mampu menunjukkan bahwa siswa lulusan sekolah harus memiliki jiwa yang kooperatif, inovatif, memiliki kepekaan sosial, dan memiliki karakter yang sesuai dengan nilai-nilai berbangsa dan bernegara. seorang siswa minimal memiliki 5 bentuk kelulusan yang dikembangkan dalam Sekolah ramah anak dewasa ini, yakni lulusan memiliki sikap anti kekerasan, memiliki sikap toleransi yang tinggi, sikap peduli lingkungan, rasa setia kawan yang tinggi dan sikap bangga terhadap sekolah dan almamaternya.
Tulisan ini paling tidak memberikan gambaran bahwa ketika siswa lulus UN maka karakteristik kelulusan tersebut bukan hanya penilaian lulus dalam selembar kertas, melainkan berupaya untuk memegang teguh arah orientasi dan karakter yang dibangun sekolah dan madrasan dalam mewujudkan standar kelulusan siswa sebagai amanah UU Sistem apendidikan nasional. Dengan demikian tujuan kelulusan tidak lagi hanya berorientasi pada angka-angka melainkan pada substansi dan internalisaasi. Itulah jawaban dari pertanyaan di atas, buat apa lulus UN?...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H