Lihat ke Halaman Asli

Ai Maryati Solihah

seorang Ibu dengan dua orang anak

Hentikan Berteriak pada Buah Hati

Diperbarui: 22 Januari 2017   07:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Banyak yang ingin tahu mengapa masa kanak-kanak memunculkan sifat perlawanan?mereka ingin terlihat berbeda, ingin lain sendiri dan ingin bebas. Beragam peraturan dan keharusan yang selalu diperintahkan dan ditujuukan pada anak selalu berbuah bantahan bahkan kerap memunculkan sikap-sikap kontra yang ekstrim, anak lari, menolak, menangis dan apriori.

Sebagai orang tua pernahkah kita berfikir sejenak mengapa perintah kita kepadanya bertubi-tubi, sadarkah kita interaksi dengan si buah hati berisi perintah secara keseluruhan. Sudah makan?, makan dulu nanti sakit, sudah ganti baju? nanti masuk angin, sudah mandi? nanti bau, sudah solat? nanti ditemanin setan, sudah mengerjakan PR?  dan lain sebagainya. Bahkan sudah malam ayo tidur sana.

Pola komunikasi seperti ini dalam perspektif orang tua hendak menunjukkan rasa perhatian dan kasih sayang pada sanga buah hati. Tapi tahukah bahwa tidak semuanya perlu ditunjukkan dengan perintah. Sebab suatu perintah identic dengan hadirnya tuntutan untuk memenuhi keinginan orang lain bukan kebutuhan diri yang bersangkutan.  Memang benar, muncul dalam benak kita rasa ingin mendidik dan mengajari tentang kebaikan terlebih lagi menyangkut pemenuhan kebutuhan primernya, namun belum tentu tujuan kita dapat diterima dengan mulus pada pribadi buah hati kita.

Di sisi lain, sadarkah kita jika perintah tersebut selalu disertai penekanan dan ancaman-ancaman. Dan apabila longgar rasa pengendalian diri kita yang terjadi adalah suruhan secara sarkas yang membuat anak takut bahkan tertekan. Anak makan sambil menangis, anak tidur sambil menggigil anak mandi sambil diguyur terus-terusan tanpa sadar. Bahkan perintah-perintah kebaikan agama dilakukan dengan berteriak dan memarahi sambil melukai hati anak.

Pada peristiwa seperti itu, pertentangan jiwa anak semakin tinggi dan semakin ingin diperlihatkan bahwa ia juga punya daya dan kekuatan dengan beragam bentuk, berbohong, mengecoh, mengakali bahkan melawan dengan keras. Dengan demikian sebagai orang tua harus menggunakan berbagai terobosan dalam menggunakan pendekatan pada anak. Salah satunya dengan merefleksikan diri, sudah seperti apakah kita mendidik anak-anak ?. Bagaimana dampak dari seluruh peraturan yang ingin ditegakkan itu? Itulah awal bagaimana penataan dalam membangun komunikasi efektif dan perintah kebaikan itu bisa dijalankan dengan penuh kesadaran oleh anak-anak kita. Berikut alternative yang bisa kita jadikan bahan refleksi :

  • Dahsyatnya Suri Tauladan Dalam Islam mengajak dalam kebaikan bukan hanya perintah Allah untuk orang tua kepada keluarganya, melainkan antara manusia kepada seluruh umat manusia. Namun titik tekannya ajakan itu hendaklah bersifat uswatun hasanah /suri teladan(Qs. Al-Ahzab : 21). Jika nilai kebaikan akan kita suarakan hendaklah dengan sikap kita terlebih dulu. Di situlah teladan yang harus kita perlihatkan pada buah hati. Menyuruh anak namun kita tidak melakukan maka yang terjadi adalah membantah melawn bahkan apriori dan jadi bahan menyalahkan kita. Sebisa mungkin keteladanan adalah pokok utama yang harus disiapkan dalam membangun pendidikan dalam keluarga dalam membimbing buah hati kita.
  • Mengubah Mainsett Perintah Menjadi Ajakan Iklim patriarkhis dalam struktur social terjadi akibat relasi kuasa antara si kuat dan si lemah. Dalam keluarga sepertinya anaklah yang dianggap paling lemah. Pandangan ini muncul dan berkembang sehingga dianggap wajar anak diperintah meski dengan cara-cara yang sarkas. Bisakah pandangan ini mulai dikikis, dengan tidak melihat mereka sebagai kelompok tak berdaya melainkan kelompok unik dan berpotensi sehingga kita tidak kagetan melihat perilaku dan respon anak yang kian beragam. Ajakan yang dimaksud adalah melibatkan mereka secara aktif dalam aktivitas yang dalam keseharian selalu mendapat kesulitan untuk dilaksanakan. Menyuruh makan diubah menjadi diajak makan bersama, mengajaknya mengambil nasi dan duduk bersama. Terlebih lagi ketika mengajak solat/beribadah, ajak mereka dengan berwudlu bersama, dan menyiapkan alat-alat ibadah bersama.
  • Hentikan Berteriak Sekarang Juga Sebaik apapun perintah dan permintaan kita pada anak dengan menggunakan cara yang anak tidak sukai, yakinlah selalu menghasilkan kontraproduktif. Mengapa demikian? Sebab kesadaran semu yang diperlihatkan anak adalah awal dendam dalam benaknya dan memikirkan bentuk perlawanan. Sebagai orang tua sulit mengontrol emosi yang sudah kian menumpuk dari pagi, suasana perjalanan, suasana pekerjaan dan pulang dalam kondisi kelelahan. Sesampainya di rumah bagaimana melihat perilaku buah hati yang sulit diatur dan kerap melawan. Disinilah emosi orang tua sangat perlu dikelola. Tanamkan menghindari berteriak kepada anak meskipun dengan tujuan menekankan pada kebaikan. Perintah yang sudah kita modifikasi dengan cara mengajaknya perlu disampaikan dengan kelembutan bahkan ajak bercanda dan bersuka cita.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline