Lihat ke Halaman Asli

Kota Baru

Diperbarui: 24 Juni 2015   21:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Belum genap pukul lima sore saat aku lihat jam dinding di cafeteria kompleks pemukiman ini. Hampir dua jam di sini. Serasa berhalusinasi telah kutinggalkan kota ini. Seakan meriam waktu melesatkan gerakku seribu jam lebih cepat dan mendorongku ke kota baru yang aku harapkan. Di tempat aku duduk, seseorang tiba-tiba menarik kursi di sebelahku.

“Kau ingin pergi dari sini?”, suaranya seperti aku kenal dan sungguh aku terhenyak. Dia!

“Kamu...”, aku tercekat menyapanya dan mencoba bersikap wajar.

“Dari mana kamu tau apa yang aku pikirkan?”, aku membalas apa yang dia tanyakan. Aku menatapnya lekat, berangsur rasa terhenyakku lenyap. Berganti pikiran-pikiran yang mengembara ke masa dua tahun silam.

“Usah bertanya. Seperti dulu aku bilang, aku pengelana waktu yang tau apa yang sedang ada di pikiranmu.” Dia menjawab dan tersenyum simpul.

Pikiranku masih menjelajah ke dua tahun silam. Ah! Aku ingat senyumnya. Tunggu! Bukan hanya senyum simpulnya tapi tiga ucapan “tak apa, lakukan, dan baik-baiklah nanti” yang aku ingat dari dia. Dia muncul lagi. Untuk menyemangatiku lagi? Pikiranku berhenti menjelajahi dia di masa lalu.

“Sedang apa kamu di sini. Aku ingin pergi dari kota ini.”

“Ke mana tujuanmu?”, suaranya sungguh khas dan melekat di otakku.

“Aku ingin ke kota baru. Ingin aku tinggalkan kota ini. Dan lagi aku sungguh tak percaya bertemu lagi denganmu atau jangan-jangan kamu selama ini membuntutiku”, aku penasaran berkata.

Tidak ada jawaban. Tapi lagi-lagi hanya senyum simpulnya. Ah! Tolong hentikan senyum itu.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline