[caption caption="taksi | sumber gamar: antaranews.com"][/caption]Kemajuan zaman begitu menggelitik masyarakat dalam berinovasi, punah atau bangkit dalam mengarungi 21st Century ini. Kemajuan zaman merupakan keniscayaan yang tidak bisa kita hindari, yang dibutuhkan masyarakat adalah respon yang positif, bukan penolakan. Respon tersebut bukan hanya defensif, namun harus berani ofensif. Tapi, setiap respon yang memuat anarkisme bukanlah tindakan yang tepat dalam mengahadapi zaman ini.
Pada hari selasa, tanggal 22 Maret 2016. Jakarta menjadi saksi bisu terciptanya sejarah bentrokan antar pengemudi transportasi konvensional dan transportasi online. Seiring perjalanannya, transportasi konvensional hadir lebih dahulu menjadi penyedia jasa transportasi untuk masyarakat. Sedangkan, kehadiran transportasi online baru seumur jagung dibandingkan dengan transportasi konvensional, namun perkembangannya begitu pesat dan memikat para pengguna. Selain terhitung murah, pelayanannya pun begitu prima dan mudah di pesan hanya dengan menggunakan aplikasi di Android.
Dengan begitu pesatnya pengguna jasa transportasi online, maka terjadi penurunan pada pengguna jasa transportasi konvensional. Sejatinya, para sopir transportasi konvensional maupun transportasi online sedang memperjuangkan hak hidupnya. Sama-sama bekerja untuk memenuhi kebutuhan dapur bagi istrinya dan bekal sekolah untuk anak-anaknya. Bila hak hidupnya terganggu atau tidak stabil, maka kecemasan menghidupi diri mereka. Mungkin, itu menjadi salah satu faktor yang menyebabkan anarkisme terjadi pada saat demonstrasi.
Demonstrasi kian dianggap tidak baik oleh sebagian orang, anggapan itu muncul akibat banyaknya aksi yang berujung pada anarkisme, yang dapat merusak fasilitas umum dan fasilitas pribadi. Padahal, demonstrasi merupakan upaya para demonstran dalam menyampaikan aspirasi kepada pemerintah, tentunya agar pemerintah dapat mendengar keluh kesah permasalahan yang dihadapi di masyarakat secara langsung dengan solusi-solusi yang dapat menjaga stabilitas Negara dan tidak merugikan sebagian orang.
Selain itu, pemerintah sebagai pemangku kebijakan perlu mempertegas peranannya dan memberikan respon yang cepat dan tepat. Dengan begitu, pemerintah dapat mengikis terjadinya kericuhan yang terjadi di masyarakat. Mereka menuntut pemerintah mengeluarkan Perpres atau Inpres yang mengatur persoalan transportasi yang sebelumnya diatur oleh UU Nomor 2 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan menuntut untuk merevisi Perda No 5 Tahun 2014 tentang Usia Kendaraan.
Menteri Perhubungan (Menhub) Ignatius Jonan dan Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Rudiantara memiliki tanggung jawab besar dalam mengatasi permasalahan yang terjadi ini. Oleh karena itu, mereka perlu bertukar pikiran untuk mengatasinya. Dalam hal ini, perlu kiranya pemerintah dapat melihat aspek keadilan, yang tidak merugikan sebagian orang dan menguntungkan sebagian orang, serta menerapkan penyeragaman aturan bagi transportasi online dan transportasi konvensional agar tidak adanya perbedaan. Selain itu, setiap perusahaan transportasi konvensional perlu meningkatkan kualitas mutunya dalam mempermudah pengguna jasa transportasi.
*Penulis adalah Peneliti di Lembaga Riset dan Kajian Strategis Akselerasi Indonesia (AI) dan Aktivis Himpunan Mahasiswa Islam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H