Sejak diterbitkannya Peraturan Mendikbudristek Nomor 12 Tahun 2024 yang menggeser kegiatan Pramuka di sekolah sebagai salah salah kegiatan pilihan atas dasar kesukarelaan, maka polemik argumentasi pun tak urung menggeliat di berbagai platform media massa dan media sosial.
Muatan dasar dari Permendikbudristek tersebut sejatinya bertolak dari bunyi UU Nomor 12 Tahun 2010 (tentang Gerakan Pramuka) yang menyatakan bahwa gerakan pramuka bersifat mandiri, sukarela, dan non politis.
Maka, dengan demikian terbitnya Permendikbudristek 12/2024 hendak menegaskan kembali terkait prinsip kesukarelaan. Bahwa keikutsertaan murid dalam kegiatan ekstrakurikuler, termasuk Pramuka, bersifat sukarela.
Menyikapi perubahan tersebut maka tak ayal, publik pun bergejolak untuk berkomentar entah itu sebagai pendukung ataupun sebagai penyanggah dengan argumentasi masing-masing dengan muara pembicaraan adalah pada soal wajib dan tidak wajib.
Rata-rata pihak yang berkomentar tersebut adalah dari kalangan pendidik, tokoh pendidikan, para pemerhati pendidikan dan lain sebagainya.
Oleh karena itu, melalui tulisan ini pun, saya cukup berbagi bagaimana situasi kepramukaan di sekolah tempat di mana saya juga pun mengabdi dan juga pernah ikut-ikutan selebrasi Pramuka tepatnya menjelang hari peringatan Pramuka pada 14 Agustus setiap tahun.
Realitas Kegiatan Kepramukaan Di Sekolah
Meskipun keberadaan sekolah terbilang di pelosok Nusantara ini, Pramuka tetaplah menjadi kegiatan wajib dan rutin diselenggarakan setiap tahunnya.
Pernah diselenggarakan secara internal sekolah. Artinya hanya diselenggarakan secara sendiri-sendiri oleh semua instansi pendidikan yang ada di sekitar kampung, mulai dari Sekolah Dasar hingga Sekolah Menengah.
Namun, kegiatan yang dilakukan seturut pengalaman saya hanyalah apel Pramuka saja sebagai kegiatan inti. Jadi terlihat kurang seru begitu. Malah terkesan kaku dan (mohon maaf) membosankan.