Lihat ke Halaman Asli

Amanda Naila Majida

Mahasiswa Universitas Airlangga

Buzzer sebagai Akar Rumput Sintetis: Wajah Baru Manipulasi Opini Publik di Era Digital

Diperbarui: 2 Desember 2024   14:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

@amanda naila

Oleh: Amanda Naila Majida, Mahasiswa Program Studi S1 Administrasi Publik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Airlangga

Jejak Awal

Pesatnya perkembangan komunikasi digital di era modern mempermudah penyebaran informasi secara cepat. Namun, kemudahan ini juga menimbulkan berbagai bentuk propaganda, salah satunya melalui peran buzzer. Secara umum, buzzer adalah individu atau kelompok yang bertugas menyebarkan opini untuk memengaruhi pandangan masyarakat. Awalnya, buzzer dikenal sebagai individu atau akun yang mampu memperkuat pesan dengan menarik perhatian atau memicu percakapan di media sosial untuk tujuan tertentu.

Istilah "buzzer" pertama kali muncul pada tahun 2009 dalam konteks promosi perusahaan dan menjadi awal munculnya Twitter di Indonesia. Pada tahun ini juga konsep buzzer masih berkonotasi positif karena membantu dalam strategi pemasaran perusahaan (Sugiono, 2019). Selain itu, buzzer juga dapat membantu meningkatkan visibilitas isu tertentu dan memantik dukungan dengan cepat, sehingga mampu menciptakan kesadaran terhadap suatu permasalahan.

Transisi Peran Buzzer

Semakin maraknya buzzer di Indonesia, fungsi buzzer sebagai bisnis pun kian bertambah hingga digunakan dalam ranah politik. Secara umum, buzzer politik digunakan sebagai strategi kampanye untuk memperbesar elektabilitas dan popularitas tokoh atau partai politik tertentu (Bradshaw & Howard, 2019).

Pada tahun 2012 disinyalir sebagai kemunculan buzzer politik yaitu pada saat masa Pilkada DKI Jakarta. “Pada tahun ini ada dua tipe buzzer. Tipe pertama adalah mereka yang tidak dibayar dan menyebarkan pesan secara sukarela, yaitu memang mendukung Jokowi. Sementara itu, buzzer yang dibayar disewa untuk mendukung kelompok politik Foke” Saraswati (2018). Maraknya buzzer politik ini semakin menjadi konotasi negatif di dalam masyarakat terutama melalui penyalahgunaan media sosial. Twitter menjadi platform media sosial yang kerap dimanfaatkan oleh buzzer untuk mengkampanyekan seorang tokoh politik. Pada Pilkada DKI Jakarta 2012, Twitter digunakan oleh buzzer untuk menyebarkan ujaran kebencian, yang kemudian memunculkan istilah "perang status" atau twitwar (Syahputra, 2017).

Peran buzzer menjadi berbahaya ketika mereka membentuk persepsi atau pandangan publik terhadap kandidat politik tertentu melalui berita-berita yang mengandung hoaks atau ujaran kebencian (Felicia, 2019). Penggunaan buzzer yang masif menunjukkan adanya krisis demokrasi, di mana tindakan ini sering kali berkorelasi dengan sistem otoritarianisme yang berupaya membatasi kebebasan berpendapat. Di Indonesia, buzzer politik dianggap merusak proses demokrasi karena konten-konten mereka bisa menyebabkan perpecahan di tengah masyarakat (Syahputra, 2017). Buzzer digunakan untuk mengendalikan opini publik demi memperkuat branding atau narasi pihak tertentu, bahkan untuk membungkam kritik dari masyarakat yang menyuarakan opini berdasarkan pengalaman mereka.

Maraknya penggunaan buzzer peer atau buzzer bayaran ini juga terjadi pada Pemilu tahun 2024. Menteri Komunikasi dan Informatika, Budi Arie Setiadi, menyatakan, "Sebanyak 1.923 konten hoaks terkait Pemilu 2024 telah diputus aksesnya, dan 92 persen kegaduhan di ruang digital diisi oleh para buzzer." Ungkapnya di Kantor Kemenkopolhukam, Jakarta Pusat, Selasa (19/3/2024).

"Pemanfaatan buzzer tidak menciptakan komunikasi dua arah saat terjadi krisis dan cenderung merusak reputasi suatu organisasi" (Idris, 2018). Tidak sedikit kasus buzzer yang digunakan untuk merusak reputasi pihak tertentu dengan menggiring opini negatif sesuai agenda mereka. Yang lebih memprihatinkan, buzzer sering kali memanipulasi informasi, mengganggu kestabilan negara, dan menimbulkan kebingungan publik terkait kebenaran informasi. Kondisi ini dapat memicu kerusuhan akibat ketidakpastian berita yang dapat dipercaya.

Langkah Strategis Pencegahan Konotasi Negatif Buzzer

Penggunaan buzzer seharusnya diperbolehkan hanya untuk menangkal berita hoaks atau menyebarkan pengetahuan yang bermanfaat. Pasal 28 Ayat 3 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang perubahan kedua Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) menyebutkan bahwa “penyebaran informasi atau dokumen elektronik yang diketahui memuat berita bohong yang menimbulkan kerusuhan merupakan tindakan yang dilarang dan dapat dikenai sanksi pidana”. Dengan demikian, baik rakyat maupun pemerintah harus bersinergi untuk menangkal penyalahgunaan peran buzzer.

Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah penyalahgunaan peran buzzer yaitu dengan membahas UU ITE karena buzzer politik beroperasi di dunia maya, dimana informasi berkembang dengan sangat cepat dan terus berubah. Selain itu, konten yang disebarkan oleh buzzer sering kali mengandung ujaran kebencian, misinformasi, atau disinformasi (Mustika, 2019). Mencegah konotasi negatif dari buzzer ini menjadi salah satu langkah untuk menciptakan negara yang transparan, demokratis, serta memanfaatkan buzzer secara bijak untuk menyebarkan informasi yang relevan dan bermanfaat.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline