Media merupakan platform komunikasi modern yang berperan sebagai perantara yang sifatnya terbuka dan universal. Begitu pun juga menurut McLuhan dan Quentin Fiore menyatakan bahwa "media telah menjadi esensi masyarakat di setiap era" yang menunjukkan bahwa media selalu terhubung dan memberikan pengaruh terhadap pola perilaku masyarakat termasuk cara pandang, gaya hidup, serta penerapan norma sosial budaya.
Hal ini dapat terjadi karena media berperan sebagai pelopor perubahan dalam penyebaran informasi, namun secara sadar atau tidak sadar perubahan tersebut juga memiliki pengaruh terhadap isu-isu sosial. Salah satu isu yang belakangan ini menjadi sorotan media adalah isu pengungsi Rohingya, dimana media sosial menjadi sarana utama bagi khalayak media untuk berlomba-lomba menggali latar belakang persoalan ini.
Rohingya adalah kelompok etnis minoritas muslim yang berasal dari Rakhine Utara, Myanmar. Adanya kebijakan Undang-Undang Kewarganegaraan menjadi faktor utama yang menyebabkan orang-orang Rohingya menghadapi perlakuan diskriminatif berupa kekerasan fisik dan pembatasan hak asasi manusia sehingga terpaksa mengungsi ke beberapa negara di Asia Tenggara, salah satunya Indonesia tepatnya di Aceh.
Menurut United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR), ada lebih dari 1.200 pengungsi Rohingya telah memasuki perairan Aceh sejak November 2023. Jumlah ini tidak sedikit dan memerlukan upaya penanganan serius guna menghindari potensi gesekan dengan warga lokal seperti konflik penolakkan yang terjadi beberapa waktu lalu karena adanya opini publik yang termanipulasi melalui propaganda di media sosial.
Dalam konteks ekologi media ungkapan "medium is the message" erat kaitannya dengan tiga asumsi khususnya peristiwa di media sosial. Pertama, media sosial sebagai wadah interaksi antar individu. Kedua, media sosial mempengaruhi secara langsung kemampuan inidvidu dalam menilai suatu peristiwa. Ketiga, media sosial dianggapa sebagai sistem yang kompleks untuk menyatukan dunia.
Ketiga asumsi tersebut yang kemudian tercermin dalam persoalan isu pengungsi Rohingya, dimana khalayak media seringkali menciptakan propaganda yang menumbuhkan kebencian hingga konflik-konflik sosial baru melalui manipulasi fakta serta data meliputi foto dan video yang mendramatisir untuk menciptakan narasi baru dan menyulitkan dalam memahami kejadian sebenarnya di lapangan.
Platform media sosial seperti, Tiktok, Instagram dan Twitter merupakan bentuk yang paling umum dan mudah diakses oleh khalayak media. Namun kemudahan ini sangat rawan karena tidak sedikit pengguna yang tidak bertanggunng jawab dengan menyebarkan informasi tanpa memfilternya terlebih dahulu. Hal tersebut memunculkan asumsi bahwa semua khalayak media baik pengirim atau penerima pesan "disetir" oleh media sosial
Sebagai contoh di Twitter, ketika pengguna berasumsi bahwa kedatangan orang Rohingya memiliki tujuan untuk menguasai tanah Aceh seperti yang terjadi di wilayah Arab antara Israel dan Palestina. Kemudian di Tiktok muncul konten perasaan orang Rohingya yang kurang puas dengan kebutuhan pangan dan hal lainnya di Instagram menyangkut penyimpangan perilaku dari sebagian mereka yang seharusnya dapat diselesaikan secara bijak.
Lebih daripada itu, sikap negative ini juga secara nyata ditunjukkan oleh sebagian dari kelompok mahasiswa dengan memaksa mengusir dengan cara yang arogan, menimbulkan ketakutan, dan berpengaruh pada citra Indonesia di dunia internasional terkait isu kemanusiaan. Hal tersebut pada akhirnya berdampak pada kesamaan tindakan diskriminasi yang sebelumnya dirasakan oleh orang Rohingya di negara asalnya.
Isu pengungsi Rohingya di media sosial adalah contoh nyata tentang bagaimana lingkungan digital mampu mempengaruhi khalayak media yakni individu sebagai pengguna. Ekologi media menekankan kehadiran media bukan hanya sebagai sarana penyebaran informasi tetapi secara konsisten juga turut mempengaruhi opini publik terhadap isu yang sedang berkembang. Kehadiran media sosial yang memudahkan akses mendapatkan informasi harus diiringi juga dengan sikap kritis dan diharapkan masyarakat dapat lebih bijak memilah informasi dan menjunjung tinggi toleransi baik antar sesama maupun lintas warga negara.
Daftar Pustaka: