Lihat ke Halaman Asli

Indonesia Negara Pecinta Fotokopi

Diperbarui: 27 April 2021   21:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Diary. Sumber ilustrasi: PEXELS/Markus Winkler

Panas terik. Matahari sedang di puncak kepala. Saya baru saja mencapai pelataran sebuah bank nasional ketika tiba-tiba seorang satpam dengan perut buncit menyapa: "Apa keperluannya, Mba?"

"Mau bayar perpanjangan sewa makam Bapak saya, Pak,"

Satpam itu menerima sodoran selembar HVS tipis bertuliskan Surat Setoran Retribusi Daerah. Ada angka Rp.40.000 di sana. Kelurahan area saya tinggal menyuruh saya membayar sejumlah uang tersebut di bank nasional. Tidak, pembayaran tidak bisa dilakukan via ATM bank nasional tersebut yang ada di area parkir kelurahan - begitu kata petugas kelurahan yang saya tebak masih belia.

"Oh, fotokopi dulu aja, Mba. Satu rangkap."

Saya menghela napas. Fotokopi lagi. Selama saya mengurus pembayaran perpanjangan makam, ada 3 lokasi yang harus saya kunjungi, dan ada beberapa yang harus lebih dari satu kali. Pertama ke TPU tempat ayah saya dikuburkan untuk meminta surat pengantar, lalu ke kelurahan untuk mengurus sertifikat perpanjangan, lalu ke bank nasional untuk membayar biaya perpanjangan, lalu ke kelurahan kembali untuk mengambil sertifikat, lalu ke TPU lagi untuk menyerahkan sertifikat perpanjangan makam. Semuanya meminta fotokopi mandiri. Dua rangkap. Satu rangkap. Materai 10 ribu yang dibandrol seharga 16 ribu oleh gerai fotokopi dekat kelurahan.

Kalau memang semuanya membutuhkan fotokopi, kenapa tidak ada satupun yang menyediakan mesin fotokopi atau menyisakan tempat di gedungnya untuk tukang fotokopi menggelar lapak? 

Apakah cuma saya yang mau bersusah-susah 3 tahun sekali memperpanjang sewa makam orang tua? Apakah yang lain sudah menyerah saja membiarkan makam ditumpangi makam lain? 

Apalagi ini di bank, yang kemungkinan besar mengurus data-data yang lumayan penting. Masa mesin fotokopi saja tidak ada?

"Tapi agak jauh, Mba. Di deket masjid di sana, mau diantar saja?"

Membuka mulut saja saya sudah malas. 

Tanpa menjawab tawaran satpam, saya bergegas berjalan menuju masjid. Di tengah pandemi seperti ini, membonceng motor saja perlu berpikir berkali-kali. Rasanya badan ini sudah lelah, sedikit kecewa karena seharusnya urusan perpanjangan makam sudah bisa beres kemarin. Berdalih sistem online di kelurahan mendadak mati di jam makan siang, urusan terpaksa diundur hari ini. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline