Lihat ke Halaman Asli

Amanda S

A full time worker. A part-time student and dreamer. A singing and dancing enthusiast. A cat and book lover:) follow me on twitter @amandaind .

Memaknai Penerimaan sebagai Seorang Manusia

Diperbarui: 9 Mei 2020   14:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dokpri

Menginjak hari yang menandai tepat dua tahun sebelum menuju usia kepala empat, saya menyadari bahwa kado dari Tuhan datang beberapa bulan sebelum saya berulang tahun. Berada dalam suatu peristiwa yang akan menjadi salah satu momen penting dalam sejarah dunia, saya seakan sedang mendapatkan kursus intensif dari Tuhan tentang bagaimana menjadikan penerimaan (acceptance) sebagai sesuatu yang berasal dari hati dan bukan hanya terlontar dari bibir.

Di awal pandemi Covid-19, hampir tiap hari emosi saya bergerak dinamis bagai roller coaster. Kadang sedih, takut, cemas dan dalam hitungan jam bisa menjadi kesal dan marah. Berharap mencari ketenangan, saya mencoba berpikir positif dan membayangkan hal-hal menyenangkan yang akan saya lakukan begitu pandemi ini berakhir, supaya semangat menikmati hidup ini tidak akan terhapus drastis oleh pandemi. Alih-alih terhibur, hati saya justru semakin sesak ketika menyadari bahwa pandemi ini mungkin tidak akan berakhir secepat yang dibayangkan dan efeknya bisa saja lebih buruk.

Kini, setelah dua bulan lebih berlalu sejak kasus positif Covid-19 pertama ditemukan di Indonesia, saya sudah mulai bisa merasakan bahwa kondisi pandemi ini adalah suatu normal yang baru dan sudah bisa merasa lebih tenang dan damai. Bagaimana caranya? saya belajar menjadikan penerimaan (acceptance) sebagai salah satu solusi untuk mengurangi kecemasan yang ditimbulkan oleh pandemi ini. 

Hampir 1,5 tahun yang lalu, saya mengenal salah satu aliran filosofi, stoicism, yang digambarkan secara gamblang dan sangat mengena oleh seorang selebtwit favorit saya Henry Manampiring dalam bukunya: Filosofi Teras yang menjadi Book of The Year di tahun 2019 oleh IKAPI. Ketimbang berusaha menerapkan berpikir positif yang tidak mudah diterapkan oleh sebagian orang termasuk saya, stoicism menawarkan cara berpikir netral, yaitu bahwa segala hal yang terjadi di sekeliling kita atau pada diri kita adalah netral, tidak dilabeli atau dipersepsikan sebagai sesuatu yang positif atau negatif, sehingga kita bisa lebih mudah untuk menerima kenyataan dan mampu hidup di saat ini, masa sekarang, tanpa dibayangi penyesalan di masa lalu maupun kecemasan atas masa depan.

Menerima masa lalu sebagai bagian hidup kita bukan lantas kita setuju bahwa masa lalu turut mendefinisikan siapa kita. Menerima masa lalu hanyalah sekedar melepaskan persepsi negatif yang terkait, supaya kita tidak terjebak dalam penyesalan atau skenario 'jika saja' yang berkepanjangan, tapi juga tidak lantas melupakannya. Bagaimanapun, menerima masa lalu adalah sebatas untuk memetik inti pelajaran dari sekolah kehidupan sebagai bekal melangkah di masa sekarang. Jika kita berusaha melupakannya, kita tidak pernah sadar sudah sejauh apa kita menjadi kuat karena telah mengarungi masa lalu.

Menerima di masa kini adalah dengan menyadari hal-hal apa yang ada di dalam kendali dan di luar kendali kita. Menerima di konteks masa kini adalah perpaduan berani bermimpi dan berusaha dalam kapasitas sebagai seorang manusia dan sekaligus berani meyakini bahwa saya cukup. I am enough. Menerima kondisi sekarang bukan lantas kita berhenti berjuang dan berkembang. Dengan menerima apa yang ada di genggaman kita saat ini dan 'hidup di masa sekarang', kita bisa menjadi pribadi yang lebih bersyukur dan jiwa yang lebih damai. Kedua hal ini bisa menjadi motivasi yang kuat untuk terus belajar menjadi lebih baik.

Menerima masa depan adalah merasa nyaman dengan ketidakpastian. Terkadang kita terlalu takut untuk melangkah karena 1001 hal yang telah dialami kita atau orang-orang di sekeliling kita adalah hal yang tidak menyenangkan, sehingga kita takut akan mengalami seperti itu juga. Terkadang kita terlalu takut untuk meninggalkan kenyamanan selama ini karena kita tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan akan lebih baik atau justru lebih buruk. Terkadang kita terlalu takut kalau kekhawatiran kita atas hal-hal yang dipersepsikan buruk oleh sebagian manusia akan menjadi kenyataan.

Ketidakpastian adalah sesuatu yang pasti, tapi kadang kita suka melupakannya, sehingga rentan mengalami cemas atau kecewa. Pandemi Covid-19 ini seakan memaksa kita untuk berdamai dengan ketidakpastian. Tidak ada yang tahu pasti kapan ini akan berakhir, dan apakah kita bisa terhindar dari efek negatif covid-19 baik dari sisi kesehatan ataupun kondisi ekonomi. Menerima ketidakpastian sebagai suatu hal yang ada di luar kendali kita bisa membantu kita terhindar dari berpikir berlebihan atau 'overthinking' serta kecemasan.

Dari beberapa jenis penerimaan ini, menurut saya, kedua bentuk penerimaan yang paling bisa membuat kita menjadi pribadi yang lebih baik dan tangguh adalah menerima dan mencintai diri kita saat ini dengan seluruh kekuatan, kelemahan beserta usaha yang telah kita lakukan dalam menjalani hidup DAN menerima bahwa ketidakpastian adalah hal yang perlu kita rangkul sebagai layaknya sahabat. 

Dengan menyadari bahwa semua keadaan di dunia ini tidak ada yang pasti, maka kita bisa belajar selalu mensyukuri segala hal yang terjadi pada kita dan hal-hal yang sedang 'dipinjamkan' oleh Tuhan ke kita saat ini, mana yang benar-benar berharga, dan mana yang benar-benar membuat kita merasa hidup seutuhnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline