Dalam ilmu psikologi atau cognitive science, bias konfirmasi (confirmation bias atau confirmatory bias) bisa diartikan sebagai kecenderungan untuk mencari atau menginterpretasikan suatu informasi dengan suatu cara yang pada akhirnya akan mengkonfirmasikan dugaan atau asumsi seseorang, yang berujung pada suatu kesalahan.
Bias konfirmasi ini pada umumnya timbul ketika seseorang sudah memiliki suatu pandangan atau opini, maka selanjutnya orang tersebut akan mencari informasi yang bersifat membenarkan atau mengkonfirmasikan opininya dan menolak atau mengabaikan informasi lain yang tidak sesuai dengan opininya serta kemudian berhenti mengumpulkan informasi lanjutan jika merasa informasi yang telah dia peroleh sudah bisa mengkonfirmasikan bahwa opini atau dugaannya adalah benar.
Dewasa ini, bias konfirmasi ini bisa semakin diperburuk dengan timbulnya fenomena "echo chamber" yang disebabkan oleh penetrasi media sosial yang semakin meluas di kalangan masyarakat. "Echo chamber" adalah istilah yang banyak digunakan untuk menggambarkan suatu situasi dimana suatu atau beberapa dugaan atau opini diperkuat melalui pengulangan dalam suatu sistem tertutup, yang tidak memungkinkan pergerakan dugaan atau opini alternatif yang berlawanan dari dugaan atau opini yang sudah ada.
Dalam suatu echo chamber, ada implikasi bahwa suatu opini bisa dianggap benar karena adanya ketidakadilan dalam pengumpulan informasi. Mengapa fenomena echo chamber berkaitan erat dengan media sosial? algoritma sumber berita yang ada di lini masa para pengguna media sosial pada umumnya terkait dengan minat mereka yang sudah ada sebelumnya, yang akibatnya akan mempersempit ragam sumber berita dan membuat mereka hanya terekspos pada informasi yang hanya membenarkan perspektif mereka, dan dengan demikian menciptakan "echo chamber".
Riset yang baru-baru ini dilakukan oleh PNAS (Proceedings of the National Academy of Sciences of the United States of America) berkaitan dengan fenomena ini menemukan bahwa pengguna media sosial memiliki fokus yang kuat hanya kepada jenis-jenis berita yang menarik minat mereka.
Pengguna media sosial ini cenderung untuk membentuk komunitas yang solid, yang berkaitan dengan sumber berita yang mereka dukung dan juga berhubungan dengan orang-orang lain yang sependapat dengan mereka, tanpa melihat jarak geografi diantara mereka. Sebagai contoh, salah satu contoh media sosial yang populer, yaitu Facebook, memiliki pengguna yang pada umumnya hanya mengakses sedikit sumber berita di laman Facebook. Perilaku ini menyebabkan berita yang diperoleh oleh pengguna Facebook didominasi oleh paparan informasi yang terbatas dan cenderung bersifat memperkuat opini mereka yang sudah terbentuk.
Perbedaan pendapat di kalangan masyarakat adalah sesuatu yang wajar dan tidak bisa dihindari, akan tetapi pembenaran terhadap suatu opini yang berdasarkan pada suatu fakta yang tidak benar, terkadang bisa menjadi sesuatu yang berbahaya bagi kesejahteraan masyarakat bersama. Contoh yang paling jelas pada kasus bias konfirmasi yang berdampak kurang baik adalah timbulnya opini antivaksin di Indonesia.
Bisa kita bayangkan apa yang terjadi jika semakin banyak masyarakat yang mendukung gerakan antivaksin tersebut, hanya karena mereka merasa apa yang mereka yakini sudah benar ataupun hanya karena artis idola mereka juga mendukung hal tersebut, walaupun fakta-fakta yang ada nyatanya berbicara lain.
Lalu bagaimana cara kita untuk mengurangi terbentuknya bias konfirmasi di tengah maraknya penggunaan media sosial, di tengah simpang siurnya berita hoaxmaupun berita media massa yang terkadang cenderung subjektif, yang beredar baik di dunia maya maupun beredar di grup WhatsApp? Ada beberapa poin berikut yang menurut penulis bisa mengurangi kemungkinan terbentuknya bias konfirmasi. Tidak mustahil dilakukan dan juga tidak sulit, hanya mungkin perlu berlatih lebih sering.
Berlatih berpikir mandiri dalam menentukan informed opinion.
Informed opinion disini maksudnya adalah opini yang terbentuk dari berbagai informasi yang diterima. Bagaimana cara berpikir yang mandiri dalam membentuk suatu opini? Caranya adalah kita harus bisa membedakan fakta dengan opini. Kemudian carilah informasi untuk menilai kebenaran fakta tersebut dari beragam sumber yang terpercaya dan bersifat netral. Setelah itu, barulah kita dapat menentukan opini kita sendiri atas hal tersebut.
Nah, apakah lantas kita harus selalu mempunyai opini terhadap fakta yang ada? Jawabannya adalah tidak. Kita jangan takut untuk tidak mempunyai opini terhadap sesuatu hal, jika informasi yang kita miliki masih belum lengkap. Kemudian, tidak semua hal dalam hidup ini juga dapat dikategorikan dalam kelompok hitam atau putih. Banyak hal yang masih dikategorikan abu-abu, sehingga kita juga diperbolehkan bersikap netral dalam menyikapi sesuatu.