Lihat ke Halaman Asli

Jeroan-Jeroan di Media Massa Online

Diperbarui: 24 Juni 2015   05:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di satu sisi, saya merasa diuntungkan dengan keberadaan portal-portal berita berbasis web. Jelas, dengan membaca berita online tidak perlu ada koran bekas yang menumpuk. Ditinjau dari segi lingkungan ini berdampak positif. Kasarnya, penghematan kertas berarti juga penyelamatan pohon. Ditimbang dari segi ekonomis pun tak kalah menguntungkan. Uang sekira tiga atau empat ribu rupiah untuk membeli koran bisa dialihkan untuk membeli gorengan bekal sarapan.

Namun, lama-kelamaan saya kok merasa membaca berita-berita itu merugikan saya. Bayangkan saja, kepala saya yang tidak sampai 3 kilo ini beratnya, disesaki oleh ratusan berita yang kalau ditimbang-timbang lagi kok malah bikin sesak pikiran saja. Dengan dalih aktualitas, media-media online mengupas obyek-obyek berita sampai ke jeroan-jeroannya. Karena sudah bertemu jeroan, maka tiadalah lagi manfaat yang diberikannya kecuali sebagai bakal penghuni tempat sampah.

Oh ya, mungkin saya hanya akan terdengar sebagai pembual bila tak dapat menyodorkan contohnya. Beberapa bulan lalu, saya sempat tertarik mengikuti kasus korupsi petinggi salah satu partai berbasis agama. Selain tindakan korupsi yang dilakukannya, ikut disorot pula pergaulan-pergaulannya dengan sejumlah wanita. Kalau lah dihitung kuantitas, maka topik yang lebih banyak muncul kemudian adalah soal petualangan cintanya ketimbang korupsinya. Dan, kemarin, sekilas saya membaca judul berita tentang tokoh yang sama, yang kali ini sudah mendekam di penjara, dibesuk oleh isteri tercinta dengan dibawakan sambal terasi kegemaran. Amboi...manisnya!

Agaknya isu apapun, mau politik atau kriminal apabila sudah bersinggungan dengan kisah asmara, menjadi terbelokkan dari isu utamanya. Saya ambil contoh lain, kasus pembunuhan di Apartemen Kalibata City. Bila yang terbunuh itu adalah ibu rumah tangga biasa saya tidak yakin beritanya akan dikupas dengan sebegitu bernafsu. Sialnya, ibu tersebut punya wajah cantik, status sosial menarik, hingga ia pun menjadi apa yang saya sebut sebagai post-mortem celebrity. Sungguh, saya prihatin dengan kasus ini. Sama rasanya seperti membunuh yang bersangkutan dua kali.

Kalau lah benar slogan media sebagai agent of change, tentunya saya berharap media akan berhenti menulis jeroan-jeroan macam itu. Harapan saya, berita-berita di media online akan lebih bergizi, yakni berita yang menginspirasi ketimbang bikin sakit gigi. Dan, agaknya, saya bukan satu-satunya orang yang berharap demikian.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline