Lihat ke Halaman Asli

Amanda Achni

Mahasiswa Magister Profesi Psikologi Universitas Muhammadiyah Malang

Bahaya Psikologis dari Polarisasi Fanatisme Sosial Media

Diperbarui: 24 Januari 2022   09:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Dari data HootSuite (We Are Social) menunjukan bahwa 61,8 % dari jumlah populasi di Indonesia di tahun 2021 sudah menggunakan media sosial aktif dengan rata-rata waktu penggunaannya adalah 8 jam dalam sehari. Youtube, Whatsapp, Instagram dan Facebook menjadi sosial media dengan pengguna terbanyak. Data-data ini menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia sudah paham akan sosial media. Selain ini, penggunaan sosial media juga didorong dengan datangnya pandemic Covid-19, yang mana social media menjadi alternatif untuk menjalin hubungan sosial antara individu.

Penggunaan sosial media memang sudah menjadi bagian dari kehidupan bersosial. Dengan hanya seperangkat gadget seseorang sudah bisa melakukan hubungan sosial dengan orang lain dengan tanpa ada batasan ruang dan waktu. Selain menjadi sarana untuk melakukan hubungan sosial, sosial media juga bisa menjadi sarana hiburan yang mudah. Memang sosial media sangat membantu dan memudahkan manusia tetapi tidak selalu seperti itu.

Perusahaan sosial media besar seperti misalnya Meta dan Google pasti akan terus berlomba-lomba untuk memperbanyak  dan mempertahankan jumlah pengguan sosial media mereka. Salah satu yang biasa digunakankan dalam menjaga hal tersebut adalah dengan mepolarisasi fanatisme pengguna mereka. Polarisasi fanatisme merupakan tindakan menggolongkan orang-orang yang memiliki kepercayaan akan suatu hal yang sangat kuat menjadi satu.

Dampak yang diakibatkan dari Polarisasi dalam fanatisme ini bisa membuat seseorang kecanduan dalam sosial media. Kecanduan ini membuat seseorang akan sulit untuk lepas dari sosial media. Sosial media yang menawarkan konten hiburan, menjadi sosial media yang memberikan dampak adiksi dalam bersosial media. Sosial media seperti Facebook dan Tiktok menjadi sosial media terbesar yang menawarkan konten hiburan terbesar disusul Twitter dan Telegram.

Konten hiburan memberikan perasaan senang, didorong dengan polarisasi yang diciptapkan oleh sosial media membuat penikmat konten tersebut akan sulit untuk berhenti sosial media. Sehingga, membuat aktifitas yang lain akan tertunda, penundaan tersebut disebut Prokastinasi. Misalnya ketika kita sedang mengerjakan tugas,lalu bertujuan hanya menggunakan sosial media hanya sebagai jeda ketika kita mengerjakan tugas tersebut, ternyata tanpa kita sadari kita sudah berjam-jam tenggelam dalam sosial media dan membuat tugas kita tidak kunjung selesai.

 Selain, Prokastinasi, penggunaan sosial Media di malam hari juga menjadi salah satu penyebab Penurunan Kualitas tidur hingga Insomnia. Yang mana, malam hari adalah waktu yang paling tinggi penggunaan sosial media. Terkadang kita terlarut kerena keasikan berjam-jam bersosial media dan mengurangi jam tidur kita. Apabila hal ini menjadi kebiasaan maka secara tidak langsung jam tidur kita pun bergeser dan apabila kita besok pagi harus bekerja, kita hanya bisa tidur beberapa jam saja. Sehingga, kebiasaan tersebut bisa menjadi penyebab insomsia dan penurunan kualitas tidur.

Selain adiksi, Polarisasi fanatisme di sosial media juga menyebabkan munculnya distorsi kognitif pada individu. Distorsi kognitif sendiri adalah pikiran yang tidak rasioanal sehingga menyebabkan permasalahan psikologis pada individu. Pemikiran yang tidak rasional ini terbentuk dari informasi yang salah yang kita terima terus menerus sehingga kita beranggapan informasi tersebut benar.

Dengan memberikan konten yang memiliki tema yang sama terus menurus dan menghilangkan penyajian konten yang bertolak belakang dari tema yang diinginkan oleh pengguna, bisa menyebabkan individu meyakini tema tersebut paling benar. Misal, konsep badan yang ideal, apabila individu yang menginginkan badan yang ideal adalah kurus, maka individu tersebut akan disodorkan dengan konten yang berkaitkan dengan bagaimana mendapatkan badan kurus, model-model yang berbadan kurus, hingga menjelekkan badan yang gemuk dan begitu sebaliknya. Contoh ini mampu menyebabkan seseorang bisa menjadi terobsesi dengan badan kurus ataupun sebaliknya, sehingga mampu memicu gangguan gangguan psikogis seperti body dysmorphic dan eating disorder.

Selain dari contoh diatas masih banyak dampak polarisasi dalam fanatisme di sosial media yang menyebabkan distorsi kognitif hingga mengerah ke gangguang psikologis yang serius. Terkadang, karena kira sudah terpolarisasi, kita tidak sadar sebernarkan sudah memiliki distorsi kognitif akan sesuatu dan beranggapan bahwa orang-orang tidak sepemikiran dengan kitalah yang salah. Oleh karena itu, Kita haruslah bijak menggunakan sosial media dan memilah informasi yang ada disosial media.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline