Pandemi Covid-19 telah menyerang dunia selama hampir setahun lamanya. Terhitung sejak awal Maret 2020 dimana masuknya virus corona kasus pertama di Indonesia. Dalam upaya mengurangi penyebaran Covid-19 kebijakan social distancing seperti Pembatasan Sosial Berskala Besar pun mulai diterapkan di Indonesia dengan membatasi aktivitas diluar rumah. Tentunya kebijakan ini pun berdampak terhadap berbagai aspek kehidupan masyarakat, salah satunya terhadap proses pembelajaran di sekolah.
Proses pembelajaran yang biasanya dilakukan dengan tatap muka pun terpaksa dialihkan menjadi Pembelajaran Jarak Jauh. Sekolah hingga perguruan tinggi pun menerapkan kebijakan Pembelajaran Jarak Jauh. Dalam penerapannya baik guru, dosen maupun tenaga pengajar mengupayakan metode pembelajaran yang efektif Berbagai aplikasi yang tersedia dalam smarthphone maupun laptop seperti zoom meeting, google meet, google classroom, whatsapp hingga youtube pun menjadi penunjang proses pembelajaran secara virtual.
Tidak seperti pembelajaran tatap muka biasanya, Pembelajaran Jarak Jauh mengakibatkan terbatasnya ruang belajar antara pendidik dan peserta didik. Terbatasnya ruang komunikasi dan dialog baik antara pendidik dengan peserta didik maupun antar peserta didik itu sendiri.
Banyak faktor yang mempengaruhi hal tersebut, salah satunya seperti kendala dalam sinyal yang tidak cukup bagus, kuota internet yang tidak mencukupi hingga gadget sebagai media pembelajaran yang tidak memadai. Seringkali didapati juga peserta didik yang tidak memahami materi yang disampaikan atau dinilai pasif selama proses pembelajaran.
Pembelajaran dialogis pun menjadi salah satu alternatif tantangan yang perlu dihadapi oleh pendidik dalam menghadapi pergeseran pola pendidikan dalam proses pembelajaran jarak jauh.
Pemikiran Paulo Freire
Paulo Freire sebagai pengagas proses pembelajaran dialogis membahas dalam salah satu bukunya yang berjudul pedagogic of the opressed (1968). Pemikiran ini awalnya berangkat dari konsep pendidikan gaya bank. Konsep pendidikan ini merupakan bentuk gaya pengajaran lama yang menempatkan guru sebagai pusat belajar atau teacher oriented seperti metode ceramah.
Freire menjelaskan bahwa sistem pendidikan selama ini diibaratkan sebagai sebuah bank dimana peserta didik merupakan objek investasi yang diisi sebagai sarana tabungan atau penanaman modal ilmu pengetahuan.
Dalam konsep pendidikan gaya bank, peserta didik memiliki ruang gerak sebatas pada menerima, mencatat dan menyimpan di mana guru sebagai pemberi informasi yang mesti diterima, diingat dan dihapalkan oleh peserta didik.
Menurut Freire pendidikan gaya bank setidaknya memiliki 10 ciri ciri diantaranya:
- Guru mengajar, murid diajar.
- Guru mengetahui segala sesuatu, murid tidak tahu apa-apa.
- Guru berpikir, murid dipikirkan.
- Guru bicara, murid mendengarkan.
- Guru mengatur, murid diatur.
- Guru memilih dan memaksakan pilihannya, murid menuruti.
- Guru bertindak, murid membayangkan bagaimana bertindak sesuai dengan tindakan gurunya.
- Guru memilih apa yang akan diajarkan, murid menyesuaikan diri.
- Guru mencampurkan wewenang ilmu pengetahuan dengan wewenang profesionalismenya, dan mempertentangkannya dengan kebebasan murid-murid.
- Guru adalah subyek proses belajar, murid obyeknya.
Freire pun menawarkan konsep pendidikan hadap masalah yang merupakan solusi dari gaya pendidikan lama atau pendidikan gaya bank. Konsep pendidikan hadap masalah mengedepankan proses dialogis dalam proses pembelajaran dimana peserta didik dan pendidik saling belajar sehingga proses pembelajaran tidak terjadi secara searah. Freire meyakini bahwa konsep pembelajaran ini dapat mengembangkan kemampuan peserta didik serta menghilangkan sikap pasif pada peserta didik.