Lihat ke Halaman Asli

Semar Super, Super Semar

Diperbarui: 26 Juni 2015   17:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hiburan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Semar Super, Super Semar

Kalau saja Pak Harto masih berkuasa, maka besok tanggal 11 Maret mungkin masih akan diperingati sebagai hari bersejarah dimana saat itu Pak Harto mendapat 'mandat' dari Pak Karno untuk melakukan apa-apa yang diperlukan untuk menyelamatkan negara. "Apa-apa yang diperlukan" itu kemudian ditafsirkan termasuk memakzulkan Pak Karno dan mengambil alih kekuasaan. Surat Perintah bertanggal Sebelas Maret itu kemudian disingkat menjadi SuperSemar. Pemilihan kata Semar plus Super didepannya tentu bukan tanpa alasan. Ada tujuan untuk mengasosiasikan dengan sosok Semar yang memang sudah melekat di benak sadar dan bawah sadar orang jawa yang adalah mayoritas dan berposisi menentukan dijagad politik Nusantara. Walau tidak persis, mungkin efek yang diinginkan adalah bahwa proses pengambil alihan kekuasaan itu direstui oleh Ki Semar. Ki Semar yang Super pula! Ayo...siapa yang berani menggugat akan berhadapan dengan Ki Semar.

Sosok Ki Semar di masyarakat jawa sungguh istimewa. Ki Semar telah lepas dari frame sosok fiksi ciptaan (konon) Sunan Kalijogo sebagai figur tambahan (bersama anak-anaknya: Gareng, Petruk dan Bagong) dalam cerita wayang Mahabarata dan Ramayana versi lokal, menjadi sosok yang dianggap benar-benar ada dan bisa diharapkan berkah dan restunya. Termasuk merestui proses pengambilalihan kekuasaan.

Dalam cerita Mahabarata dan Ramayana versi lokal (Semar tidak dikenal di cerita Mahabarata/Ramayana versi India), Semar punya posisi unik. Dia abdi sekaligus dewa, berpangkat pembantu para Ksatria tapi juga bisa membuat Bethara Guru (Syiwa, dewa strata tertinggi) lari terbirit-birit dikentutin. Sunan Kalijogo, kalau memang benar beliau yang menciptakan tokoh ini, sungguh genial. Beliau membuat hirarki searah manusia menyembah dewa menjadi siklik: Semar mengabdi ke ksatria, ksatria menyembah dewa-dewa, petinggi dewa takut sama Semar. Dekonstruksi nilai yang luar biasa untuk ukuran era transisi hindu-islam pada saat itu. Namun...saking luar biasanya penokohan Semar oleh Kanjeng Sunan, sosok Semar meloncat keluar dari layar pewayangan dan benar-benar 'hidup' di masyarakat.

Tetangga saya, mentor saya main petak umpet waktu kecil, tersohor namanya juga karena Semar. Konon, setelah melalui topo broto laku prihatin beberapa waktu, eyang Semar berkenan memakai tetangga saya ini sebagai perantara untuk berkomunikasi kepada manusia. Maka...terkenallah beliau tetangga saya ini menjadi semacam "penyambung lidah Eyang Semar". Setiap tahun di bulan Muharram (Suro), ribuan orang berbondong-bondong menuju Gunung Srandil menunggu 'Eyang Semar' tetangga saya ini menyabdakan titah-titahnya untuk para cucu-cicitnya. Fenomena berpilin-berkelindannya antara fakta dan fiksi yang spektakuler.

Suatu sosok ternyata bisa diciptakan, dianggap sakral, dimintai berkah dan restu, image-nya berevolusi sedemikian rupa sehingga seolah hidup dan mewakili harapan ideal dari masyarakat yang tidak mendapat pemenuhan dari sosok-sosok riil. Bahkan sebaliknya, sosok riil yang diasosiasikan sebagai titisan atau perwujudan dari Ki Semar, Gus Dur misalnya. Fiksi mengatasi fakta. Mitos mensubordinasi logos.

Ki Semar, sosok rekaan Sunan Kalijogo ini jadi benar-benar 'hidup' di masyarakat yang bahkan kiprahnya sudah berada diluar kontrol Sunan Kalijogo sendiri. Mengandai-andai: seandainya Sunan Kalijogo masih ada dan mendapati Ki Semar berlaku dan diperlakukan seperti ini, beliau mungkin akan menggubah cerita: Semar Sedo! semacam cerita "Superman is dead".

AM




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline