Lihat ke Halaman Asli

Dari Anthorium ke Jokowirium

Diperbarui: 24 Juni 2015   00:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Ada yg masih ingat Anthorium? Mantan tanaman super mahal berharga puluhan juta per pot. Mengapa sekarang harganya jatuh normal lagi? Itu karena persengkokolan strategi pemasaran yg jitu ketemu konsumen dg bakat histeria massal menghasilkan demand yg seolah2 luar biasa dan melejitkan harga, namun ketika keseimbangan alami dan rasional suplay-demand tercapai, harga akan kembali ke nilai intrinsiknya. Pada masa jayanya dulu, petani Anthorium di dekat Solo sana pernah menikmati limpahan gelimang uang dari daun-daun hijau tanaman ini. Tapi seiring dg berjalannya waktu, bahwa harga tinggi Anthorium ternyata hasil rekayasa pemasaran, maka nilai Anthorium kembali ke nilai intrinksik-nya, selayaknya tanaman hias normal lainnya. Sekarang ini, pot2 Anthorium di teras rumah, kalo masih ada yg menanam, tidak perlu dikerangkeng lagi. Aman.

Heboh harga tinggi Anthorium ini bukan yg pertama juga bukan yg terakhir. Sebelumnya ada daun comfrey, buah mahkota dewa, ikan louhan dan belum lama ada lobster air tawar, love bird dll dsb. Potensi pasar dg bakat histeria massal rupanya bisa dimanfaatkan secara periodik.

Sekarang ada 'komoditi politik sedang ditawarkan ke pasar politik Nusantara. Harganya tiba-tiba melejit tinggi, dari bernilai level jabatan walikota, melejit ke bernilai jabatan gubernur daerah khusus, bahkan sekarang sedang dipasarkan dg harga selevel pemimpin nomer satu Nusantara. Mudah-mudahan 'komoditi' ini memang punya nilai intrinsik istimewa sehingga layak untuk dipasarkan dg nilai setinggi itu, bukan hanya hasil strategi pemasar hebat ala pemasar Anthorium. Kita berharap tidak mendapat Jokowirium.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline