“Dadi uwong ki sing biso rumongso, ojo rumongso biso”, begitu kata pepatah Jawa. Pepatah ini mengajarkan pada kita supaya jadi orang itu yang tahu diri, jangan sok-sokan. Kalau tidak menguasai suatu bidang, jangan ikut campur dalam bidang tersebut. Nanti bisa jadi kacau.
Untuk kali ini, saya harus mengabaikan pepatah itu. Apalagi setelah menerima mini album dari Ju’ond. Menahan diri untuk tidak menuliskan review karya Ju’ond rasanya mengganjal. Tapi di sisi lain, menuliskan review pun saya takut salah. Sebab saya bukan pengamat ataupun kritikus musik. Membuat dikotomi musik bagus dan tidak bagus saja saya tidak bisa. Pengaruh mental gengsi masih lekat menempel di kepala saya untuk masalah musik. Masih membedakan musik dari “siapa”, bukan “apa”, “luar negeri” atau “dalam negeri”.
Kalau disuruh objektif, saya selalu menilai lagu dari liriknya. Dalam hal ini, mungkin saya agak sedikit ngerti. Setidaknya saya bisa menilai, lagu-lagu pop arus utama yang sering masuk televisi—terutama lagu yang lahir di era kedua rezim SBY—liriknya nyaris tak pernah bisa saya nikmati. Hampir semuanya memakai lirik yang picisan, cerita yang mudah ditebak, dan miskin diksi. Meskipun ada juga beberapa band pop arus utama yang menurut saya masih konsisten menulis lirik yang bagus, diantaranya: Letto, Peterpan (Noah), dan—kalau boleh disebut pop arus utama—Padi.
Ketika kita memandang pop arus utama saat ini, kita lebih senang melongok ke masa lalu. Di mana Sheila On 7 masih berjaya, Dewa 19 masih rajin merilis lagu klasik, Padi masih sering malang melintang di layar kaca. Nostalgia ini biasanya datang seiring dengan kejenuhan, bahkan kekecewaan, dengan khazanah musik pop arus utama Indonesia saat ini. Akhirnya, kita akan berpaling dan mencari alternatif-alternatif baru. Salah satunya: band indie.
Ju’ond, salah satu diantaranya.
Band indie dari Kota Pasuruan ini di malam tahun baru kemarin baru saja meluncurkan debut mini album pertamanya. Sebuah capaian yang hebat saya kira untuk band indie di Kota Pasuruan. Ada beberapa sebab mengapa saya katakan demikian.
Pertama, launching album ini terjadi di kota yang masyarakatnya rela jihad fi sabilillah demi mendapatkan amplop berisi 20 ribu dari Haji Saikhon. Maka jelas, nominal adalah sesuatu yang cukup krusial.
Saya ragu ketika mendapat kabar bahwa Ju’ond akan launching album. Sebab, sudah pasti mereka akan menjual album kepada publik. Asumsi saya saat itu: apa iya orang Pasuruan akan lebih memilih beli album Ju’ond daripada mendatangi warung internet dengan sewa 5 ribu per jam lalu mencari unduhan lagu-lagu Ju’ond?
Asumsi saya itu akhirnya dipatahkan ketika saya mendapat kabar dari Aris, salah seorang gitaris Ju’ond, bahwa launching album Ju’ond sukses. Album Ju’ond ludes diborong. Bahkan saya sendiri sempat tidak kebagian sebelum akhirnya saya merampok jatah orang lain.
Kedua, Ju’ond mempertanggungjawabkan albumnya melalui konser.