(Cerpen ini sebelumnya sudah pernah dimuat di sini)
Di depanku telah terhidang sepiring nasi pecel. Harus kuakui, penyajian nasi pecelnya memang persis seperti nasi pecel Mak Yah. Porsi nasinya menggunung. Ditambah guyuran kuah rawon. Ada tahu bali, dadar jagung, dan tempe goreng sebagai lauk utama. Dan pembeli juga boleh memilih lauk tambahan seperti daging sapi atau telur bali.
Sebelum aku menyantap sarapan pagi ini, Yudha tersenyum ke arahku.
“Sudah berapa lama ya kita tidak sarapan bareng begini?”
“Sejak kamu pindah kos barangkali”
“Bukannya sejak kamu patah hati?”
Kami tertawa bersamaan. Mengingat kembali masa-masa kuliah. Masa-masa tinggal satu kosan. Segalanya menghambur begitu saja, termasuk tentang nasi pecel Mak Yah yang menjadi langganan kami semasa kuliah.
Yudha lah yang pertama kali mengenalkanku kepada nasi pecel Mak Yah. Suatu pagi ia menggedor-gedor kamarku sambil teriak-teriak membangunkanku. Padahal aku baru tidur dua jam sebelumnya. Biasanya aku akan marah pada orang yang mengganggu tidurku. Tapi saat itu aku tak punya alasan untuk marah pada Yudha. Ia memang kumintai tolong untuk membangunkan aku jika ada kuliah pagi.
“Ayo sarapan, aku nemu warung baru. Pecel kuli!”
Pecel kuli, begitu Yudha menyebut nasi pecel Mak Yah. Tentu saja karena nasinya yang sangat banyak seperti porsi makan seorang kuli. Setelah penjajakan pertama kali itu, aku hampir tak pernah absen sarapan pagi di warung nasi pecel Mak Yah. Pertama, karena harganya ramah di kantong anak kos. Kedua, porsinya banyak dan rasanya enak.