Peristiwa politik di Indonesia pada tahun 1965 mengakibatkan banyak mahasiswa Indonesia yang sedang belajar di luar negeri, terutama di negara-negara Blok Komunis seperti Uni Soviet, Cekoslovakia, Polandia, Rumania, Jerman Timur, Hungaria, Bulgaria, dan Kuba, terpaksa tidak dapat kembali ke Indonesia karena situasi politik yang tidak memungkinkan.
Kisah sepuluh mahasiswa Indonesia pada masa itu, yang dipimpin oleh Soekarno, seperti Tom Iljas, I Gede Arka, Waruno Mahdi, Asahan Aidit, Sardjio Mintardjo, Chalik Hamid, Djumaini Kartaprawira, Kuslan Budiman, Hartoni Ubes, dan Sarmadji, menjadi representasi dari mahasiswa-mahasiswa yang terkena dampak.
Mereka tidak dapat kembali ke tanah air karena terlibat atau terkait dengan stigma politik yang berkembang pada masa tersebut, khususnya dalam konteks orde baru. Konsekuensi dari hal ini adalah kehilangan sumber pendanaan dan dicabutnya status kewarganegaraan mereka, menempatkan mereka dalam situasi yang memprihatinkan di negara asing.
Kehilangan sumber pendanaan dan status kewarganegaraan menjadi tantangan utama bagi para mahasiswa eksil. Dengan beasiswa diputus dan hak kewarganegaraan dicabut, mereka mengalami ketidakpastian finansial dan hukum yang menghambat mobilitas dan kehidupan mereka. Tidak adanya jaminan akan hak-hak dasar seperti pendidikan, perlindungan hukum, atau akses kesehatan di negara asing menjadi beban tambahan bagi mereka yang terpinggirkan.
Isolasi sosial dan kesulitan dalam menjaga komunikasi dengan keluarga di Indonesia juga menjadi hambatan yang signifikan bagi para eksil. Minimnya akses telekomunikasi internasional pada masa itu memperburuk kondisi mereka, meningkatkan rasa terasing dan kesepian di tanah yang jauh dari rumah.
Di samping itu, tanpa status hukum yang jelas di negara tempat tinggal, mereka menghadapi risiko administratif dan keamanan yang serius, membuat mereka rentan terhadap berbagai masalah yang berkaitan dengan kediaman mereka di luar negeri. Hal ini menyebabkan mereka menjadi stateless atau bangsa tanpa kewarganegaraan, yaitu hidup tanpa kewarganegaraan formal dan terbatas dalam mobilitas mereka di negara tempat mereka belajar (Akmaliah, 2015).
Meskipun dihadapkan pada berbagai kesulitan, para mahasiswa eksil tetap mencari cara untuk bertahan hidup. Beberapa di antara mereka menikah dengan penduduk setempat atau mencari perlindungan sebagai pengungsi di negara-negara Eropa Barat dan Skandinavia. Langkah-langkah ini merupakan upaya adaptasi terhadap situasi sulit yang mereka hadapi, menunjukkan ketahanan dan keteguhan hati dalam menghadapi tantangan yang tak terduga di masa muda mereka.
Peran Teori Foucault dan Marxisme dalam Analisis Politik Kontemporer Film Eksil
Teori Foucault muncul dari pemikiran dan karya-karya Michel Foucault, seorang filsuf, sejarawan, dan sosiolog Prancis yang aktif pada abad ke-20. Teori Foucault mengacu pada kerangka pemikiran yang dikembangkan oleh Michel Foucault, seorang filsuf, sosiolog, dan sejarawan Prancis. Foucault dikenal karena pendekatannya yang kritis terhadap berbagai aspek kekuasaan, pengetahuan, dan subjektivitas dalam masyarakat (Foucault, 1972). Pemikiran Foucault berkembang dari berbagai konteks intelektual dan pengalaman pribadi yang memengaruhi pandangannya terhadap kekuasaan, pengetahuan, dan subjektivitas (Foucault, 1972).
Jika mengamati fenomena eksil dalam konteks teori Foucault di dunia kontemporer, penting untuk mempertimbangkan bagaimana kekuasaan negara dan institusi-institusi sosial mempengaruhi hak individu. Menurut Foucault 1972, kekuasaan tidak hanya terkait dengan struktur politik formal, tetapi juga termanifestasi dalam praktik sehari-hari, pengendalian pengetahuan, dan pembentukan norma sosial.
Dalam fenomena eksil yang ditampilkan dalam film Lola Amaria, terlihat bahwa kekuasaan tidak hanya berkaitan dengan struktur politik formal, tetapi juga merasuki praktik sehari-hari, pengendalian pengetahuan, dan pembentukan norma sosial. Para eksil mungkin mengalami pengendalian pengetahuan melalui pembatasan akses terhadap informasi, baik dari negara asal maupun dari negara tempat mereka tinggal.