Konflik Gaza antara Palestina dan Israel merupakan salah satu konflik yang paling kompleks dan sedang berlangsung di dunia saat ini. Konflik ini memiliki akar sejarah yang panjang dan melibatkan berbagai aspek politik, agama, dan sosial. Salah satu pemicu utama konflik ini adalah perselisihan atas wilayah yang sama di Timur Tengah, terutama terkait dengan status Jerusalem, pemukiman Israel di Tepi Barat, dan blokade Gaza. Pada dasarnya, konflik ini melibatkan dua pihak utama, yaitu Israel, yang didominasi oleh mayoritas yahudi, dan Palestina, yang mayoritas penduduknya adalah muslim. Palestina menginginkan kemerdekaan dan pembentukan negara merdeka dengan ibu kota di Jerusalem Timur, sementara Israel mengklaim Jerusalem sebagai ibu kota tunggalnya yang tak terbagi.
Konflik Gaza, Palestina - Israel
Konflik Gaza seringkali menggunakan serangkaian kekerasan, termasuk serangan udara, pengeboman, dan pertempuran darat antara militer Israel dan kelompok-kelompok bersenjata Palestina seperti Hamas di Jalur Gaza (Susanto, 2021). Serangan-serangan ini sering kali menyebabkan korban jiwa di antara warga sipil, termasuk perempuan dan anak-anak, serta merusak infrastruktur sipil seperti rumah sakit, sekolah, dan fasilitas publik lainnya (Susanto, 2021). Upaya perdamaian dan penyelesaian konflik Gaza telah melibatkan berbagai negara, organisasi internasional, dan lembaga diplomatik (Susanto, 2021). Namun, hingga saat ini, konflik ini masih berlanjut tanpa adanya solusi jangka panjang yang memuaskan kedua belah pihak. Dalam konteks konflik Gaza, penting untuk memahami berbagai perspektif yang ada, termasuk pandangan dari kedua belah pihak serta upaya-upaya diplomasi dan perdamaian yang telah dilakukan. Konflik ini juga menyoroti pentingnya penghormatan terhadap hukum internasional dan hak asasi manusia dalam situasi konflik bersenjata (Susanto, 2021).
Pemahaman konflik Gaza antara Palestina dan Israel melalui teori pascakolonial dan dalam perspektif orientalisme dapat memberikan wawasan yang lebih dalam tentang akar masalah, dinamika konflik, serta upaya perdamaian yang dapat dilakukan. Teori pascakolonial memungkinkan untuk melihat konflik Gaza sebagai hasil dari sejarah kolonialisme dan imperialisme yang memengaruhi wilayah Timur Tengah. Pemahaman akan bagaimana pembagian wilayah oleh kekuatan kolonial Eropa pada abad ke-20 memengaruhi konflik antara Palestina dan Israel.
Teori Pascakolonial
Teori pascakolonial juga membantu dalam memahami dinamika kekuasaan yang ada dalam konflik ini, di mana Israel sering dianggap sebagai negara yang memiliki kekuatan militer dan politik yang lebih besar daripada Palestina (Susanto, 2021). Hal ini dapat memperkuat pemahaman akan ketidaksetaraan yang mendasari konflik tersebut. Pemulihan identitas dan keadilan adalah suatu hal yang berharga bagi Palestina, yang pernah mengalami penjajahan, menjadi aspek penting dalam upaya mencapai perdamaian jangka panjang (Rohmatika & Sulaeman, 2022). Dengan memperhatikan kerangka poskolonial, kita juga dapat melihat bagaimana upaya untuk mengembalikan martabat dan hak-hak Palestina yang terpinggirkan dapat menjadi langkah penting dalam meredakan konflik dan menciptakan kedamaian yang berkelanjutan (Rohmatika & Sulaeman, 2022). Dengan demikian, melalui perspektif poskolonial, kita dapat lebih memahami ketidaksetaraan kekuasaan yang mendasari konflik Israel-Palestina dan mengidentifikasi langkah-langkah yang dapat diambil untuk memperjuangkan pemulihan identitas dan keadilan bagi Palestina sebagai bagian integral dari upaya mencapai perdamaian yang berkelanjutan.
Pandangan Teori Orientalisme Edward Said
Teori-teori dari Edward Said dapat memberikan wawasan yang berharga tentang konflik Gaza antara Palestina dan Israel merupakan aspek penting dalam pemahaman konflik ini. Dikenal karena kontribusi besar dalam studi hubungan internasional dan teori politik, Edward Said dan Samuel Huntington membawa perspektif yang berbeda namun relevan terhadap konflik tersebut. Menurut bukunya Edward Said dengan judul “Orientalism Western Conception of the Orient” konsep orientalisme dan pengaruhnya dalam hubungan antara Barat dan Timur, khususnya dalam konteks studi Barat tentang Timur. Dia menyatakan bahwa Orientalisme merupakan suatu cara pandang yang terbentuk oleh sejumlah faktor politik, budaya, intelektual, dan bahwa pengetahuan Barat tentang Timur tidak hanya merupakan suatu doktrin positif tentang Orientalisme yang ada pada satu waktu tertentu di Barat, tetapi juga merupakan sebuah tradisi akademik yang berpengaruh, serta sebuah bidang perhatian yang didefinisikan oleh para pelancong, perusahaan komersial, pemerintah, ekspedisi militer, pembaca novel dan cerita petualangan eksotis, ahli sejarah alam, dan peziarah yang memiliki pengetahuan khusus tentang tempat-tempat, bangsa, dan peradaban tertentu di Orientalisme (Said, 2003).
Edward Said, dengan teori Orientalismenya, menyoroti bagaimana pandangan Barat terhadap Timur Tengah telah membentuk persepsi dan kebijakan Barat terhadap wilayah tersebut, termasuk dalam konflik Palestina-Israel (Said, 2003). Edward Said, dengan teori Orientalismenya, menyoroti bagaimana pandangan Barat terhadap Timur Tengah telah membentuk persepsi dan kebijakan Barat terhadap wilayah tersebut, termasuk dalam konflik Palestina-Israel. Salah satu kritik utama Said terhadap Orientalisme adalah bahwa pandangan Barat terhadap Timur Tengah seringkali dipengaruhi oleh klise dan stereotip negatif, seperti menggambarkan orang Arab sebagai primitif, fanatik, atau bahkan teroris, sementara Israel seringkali didialisis sebagai wakil kebudayaan Barat yang modern dan progresif (Ambesange Praveen, 2016). Representasi media Barat terhadap konflik Palestina-Israel sering kali cenderung memihak pada sudut pandang Israel atau menampilkan narasi yang bias terhadap konflik tersebut.
Pandangan Teori Benturan Peradaban Samuel Huntington
Samuel Huntington, dengan teori Benturan Peradaban, menggambarkan konflik antara budaya dan agama sebagai sumber utama konflik pasca Perang Dingin (Fitria, 2009). Dalam konteks konflik Gaza, teori ini menyoroti pentingnya dialog antar peradaban untuk meredakan ketegangan antara Palestina dan Israel. Huntington mungkin akan menekankan bahwa konflik antara Palestina dan Israel adalah bagian dari ketegangan yang lebih luas antara dunia Islam dan Barat. Dia mungkin akan menggarisbawahi perbedaan budaya dan agama antara kedua pihak sebagai akar dari konflik tersebut (Fitria, 2009). Dalam pandangan Huntington, perdamaian hanya dapat dicapai melalui pengakuan dan penghormatan terhadap perbedaan budaya dan agama antara kedua blok peradaban (Ambesange Praveen, 2016).