Fenomena penyimpangan orientasi seksual yang dikenal dengan komunitas lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) ini merupakan fenomena yang masih menjadi perdebatan baik di kalangan masyarakat internasional maupun masyarakat nasional marak dikampanyekan serta menuai pro dan kontra.Di Indonesia , umumnya masih terdapat stigma terhadap homoseksualitas yang dianggap tabu oleh masyarakat maupun pemerintah. Perdebatan publik mengenai homoseksualitas sangat terbatas dan jarang dibahas secara terbuka.
Karenanya, ketika membicarakan hak-hak dasar warga negara, komunitas LGBT sering menghadapi kesulitan dan konflik sosial. Hal ini diperparah oleh adat istiadat di Indonesia dan masyarakat yang cenderung memegang teguh doktrin keagamaan yang konservatif. Kaum LGBT sering kali dianggap sebagai pihak yang merusak agama dan menjadi penyebab turunnya azab Tuhan apabila mereka berjuang untuk mendapatkan hak-hak dasar komunitas LGBT
Sejak tahun 2016, Indonesia telah mengalami gejolak dan perdebatan yang tak kunjung usai terkait isu Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender (LGBT). Hal ini terutama disebabkan oleh kesadaran yang ada di kalangan mayoritas masyarakat yang memiliki sikap konservatif, yang menganggap orientasi seksual yang berbeda sebagai sesuatu yang merugikan bagi negara.
Kelompok LGBT telah menghadapi berbagai bentuk kepanikan moral, seperti tulisan-tulisan provokatif dan perlakuan diskriminatif, persekusi, dan kekerasan. Tingginya frekuensi tindakan ini tidak lepas dari peran pemerintah, yang turut membentuk pola pikir masyarakat terhadap kelompok LGBT.
Salah satu contoh adalah surat edaran yang dikeluarkan oleh Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), yang menyatakan bahwa persekusi terhadap kelompok minoritas semakin marak karena kurangnya keseriusan negara dalam menindak tegas individu-individu yang melakukan tindakan persekusi, serta adanya Peraturan Daerah (Perda) yang bersifat diskriminatif.Dengan kata lain, reaksi negatif terhadap LGBT di Indonesia masih terus berlanjut dan tidak ada tindakan yang serius dari pemerintah untuk melawan persekusi tersebut, bahkan terdapat regulasi daerah yang secara eksplisit mendiskriminasi kelompok ini.
Di Indonesia, LGBT telah dilarang dan dianggap sebagai perbuatan yang haram oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan organisasi-organisasi Islam. Pernyataan ini ditegaskan oleh Ketua Umum MUI, Ma'ruf Amin, dalam konferensi pers di Kantor MUI, Jakarta Pusat pada tanggal 17 Februari 2016. Ma'ruf Amin menyatakan bahwa aktivitas LGBT dianggap sebagai sesuatu yang dilarang dalam Islam, dan bahkan bertentangan dengan sila pertama dan kedua Pancasila, serta melanggar Pasal 29 ayat 1 dan Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945. Selain itu, aktivitas LGBT juga dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. MUI juga telah mengeluarkan Fatwa MUI Nomor 57 Tahun 2014 yang mengkategorikan Lesbian, Gay, Sodomi, dan Pencabulan sebagai haram. Dalam fatwa tersebut, aktivitas LGBT diharamkan karena dianggap sebagai tindakan kejahatan.
Terdapat perbedaan pandangan di kalangan ilmuwan yang menentang LGBT mengenai keberadaan LGBT dan apakah LGBT dapat dianggap sebagai gangguan jiwa yang dapat disembuhkan. Di sisi lain, aktivis LGBT menyatakan bahwa mereka bukan pengidap gangguan jiwa dan tidak memerlukan penyembuhan. Mereka berpendapat bahwa faktor genetiklah yang menyebabkan seseorang menjadi LGBT, sehingga orientasi seksual mereka tidak dapat disalahkan. Perdebatan yang tak kunjung berakhir ini memicu konflik antara kedua kelompok yang mendasarkan argumennya pada alasan ilmiah demi mempertahankan pandangan dan ideologi mereka.
Meskipun ada perbedaan pengakuan apakah LGBT dapat dianggap sebagai perilaku normal atau gangguan jiwa, hal yang lebih penting untuk dipertimbangkan adalah masa depan generasi penerus bangsa yang terpapar dengan isu LGBT. Beberapa pihak berpendapat bahwa komunitas LGBT telah melakukan propaganda untuk menyebarkan pandangan hidup mereka. Namun, perlu dicatat bahwa LGBT dianggap sebagai perilaku yang di luar norma dan bertentangan dengan nilai-nilai kehidupan bangsa Indonesia yang menghormati adat ketimuran dan berpedoman pada agama. Pengaruh yang ditimbulkan dapat berdampak buruk pada kesehatan psikologis anak dan remaja. Meskipun beberapa negara telah mengakui LGBT, bangsa Indonesia tetap menolak dengan tegas tindakan tersebut dan berupaya mencegah peningkatan jumlah individu yang terlibat dalam LGBT.
Dampak dari perbuatan lesbian , gay , bisexsual, dan trasngender :
1. Dampak Kesehatan
Dampak kesehatan yang timbul termasuk tingginya angka penularan penyakit kelamin menular di kalangan pelaku homoseksual, dimana 78% dari mereka terjangkit penyakit tersebut. Rata-rata usia hidup kaum gay adalah 42 tahun, dan menurun menjadi 39 tahun jika korban AIDS dari golongan gay juga dimasukkan. Di sisi lain, rata-rata usia hidup lelaki yang menikah dan memiliki orientasi seksual yang dianggap normal adalah 75 tahun, sementara rata-rata usia kaum lesbian adalah 45 tahun, sedangkan wanita yang menikah dengan orientasi seksual yang dianggap normal memiliki rata-rata usia hidup 79 tahun.
2. Dampak Sosial
Dampak sosial yang terkait dengan LGBT termasuk jumlah pasangan yang banyak dalam jangka waktu tertentu, dengan penelitian menunjukkan bahwa seorang gay memiliki pasangan antara 20 hingga 106 orang per tahun, sementara pasangan zina seseorang tidak melebihi 8 orang sepanjang hidupnya. Sebanyak 43% dari golongan kaum gay yang berhasil didata dan diteliti mengungkapkan bahwa mereka telah melakukan hubungan homoseksual dengan lebih dari 500 orang dalam hidup mereka, dan 28% dari mereka bahkan dengan lebih dari 1000 orang. Sebanyak 79% dari mereka menyatakan bahwa pasangan homoseksual mereka berasal dari orang yang tidak dikenal mereka sama sekali, dan 70% dari mereka hanya terlibat dalam hubungan singkat atau hubungan semalam. Dampak sosial tersebut jelas melanggar nilai-nilai sosial masyarakat.
3. Dampak Pendidikan
Dalam konteks pendidikan, individu yang mengidentifikasi diri sebagai homo menghadapi risiko putus sekolah yang lima kali lebih tinggi daripada siswa yang dianggap normal karena mereka merasa tidak aman. Sebanyak 28% dari mereka bahkan dipaksa untuk meninggalkan sekolah.
4. Dampak Keamanan
Dampak keamanan yang dihasilkan lebih mencengangkan, yaitu adanya peningkatan kasus pelecehan seksual pada anak-anak yang melibatkan kaum homoseksual, mencapai 33% di Amerika Serikat, meskipun populasi mereka hanya sekitar 2%.
Dalam konteks ini, diperlukan usaha serius untuk melindungi anak-anak kita agar tidak terpengaruh oleh berbagai kampanye yang dilakukan oleh aktivis LGBT.
Untuk mengatasi LGBT, dapat dilakukan upaya pencegahan dengan berbagai cara sebagai berikut:
1. Membangun pergaulan yang sehat dan mengedepankan nilai-nilai moral yang sesuai dengan keyakinan dan budaya yang dianut.
2. Mengurangi akses terhadap materi pornografi, termasuk membatasi penggunaan gadget terutama oleh anak-anak dan remaja. Peran orang tua dalam hal ini sangat penting.
3. Mengadakan kajian atau seminar di sekolah untuk memberikan pemahaman tentang bahaya LGBT, dengan menjelaskan dampak negatifnya secara objektif.
4. Menegakkan undang-undang yang melarang praktik LGBT untuk mencegah penyebaran yang semakin luas. Hal ini dapat membantu dalam menangani masalah ini secara hukum.
5. Melakukan penyuluhan keagamaan yang menggambarkan LGBT sebagai perilaku yang bertentangan dengan ajaran agama.
Dengan langkah-langkah ini, diharapkan dapat mencegah penyebaran LGBT dan mengurangi dampak negatifnya. Penting untuk melibatkan semua pihak dalam menangani masalah ini, baik individu yang terlibat dalam LGBT maupun lingkungan sekitarnya. Dengan kerjasama yang baik, ada harapan untuk mengatasi masalah LGBT yang kontroversial ini di masyarakat dengan baik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H