Penerapan tindakan kebiri kimia yang ditambahkan melalui Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun Tentang Perlindungan Anak.
Ada satu Keputusan Hakim tentang kebiri kimia yang dijatuhkan pada pelaku kekerasan seksual terhadap anak yang seajk tahun 2016 dan sampai saat ini yaitu Putusan PN Mojokerto Nomor 69/pid.sus/2019/PN Mjk. Pada 2 mei 2019, pemerhati HAM memprotes keras putusan ini. Isu dalam jurnal ini adalah Pro dan Kontra Sanksi dari Kebiri Kimia menurut bergai kalangan ahli maupun pihak lainnya .
Peraturan Pemerintah tentang Tata Cara Pelaksanaan Tindakan Kebiri Kimia , Pemasangan Alat Pendeteksi Elektronik, Rehabilitasi dan Pengumuman Identitas Pelaku Kekerasan Seksual diterbitkan pada 20 Desember 2021 melalui Peraturan Pemerintah Nomor 70 Tahun 2020. Pihak kontra menggunakan Konvensi PBB tentang Anti Penyiksaan atau Hukuman lain yang keam, tidak manusiawi, dan merendahkan martabat manusia.
Penerapan kebiri kimia tidak lebih merupakan tindakan menambahkan perbuatan kejam ke perbuatan kejam lainnya , hal tersebut dinyatakan oleh Amnesty International Indonesia. Sementara pihak pro tertuju pada HAM anak.
HAM anak terutama HAM anak yang berada dalam kondisi khusus sebagai korban kejahatan seksual dijamin oleh Negara melalui peraturan perundang-undangan. Penerapan kebiri kimia bagi pelaku kejahatan seksual anak adalah perwujudan perlindungan HAM Anak Korban Kekerasan Seksual.
Kebiri kimia adalah suatu tindakan yang dapat diterapkan bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak dan ditambah pula dengan pidana penjara dan dipana tambahn lainnya. Pelaksanaan kebiri kimia dilakukan dengan penyuntikan zat kimia tertentu dengan tuuan menekan hastrat seksual yang berlebih.
Selain itu juga terdapat tindakan lain bagi pelaku kekeresan seksual terhadap anak yaitu tindakan pemasangan alat penderteksi elektronik dan tindakan rehabilitasi.
Peenerapan kebiri kimia di Indinesia melalui Undang-Undang Nomor 17 tahun 2016 tentang Penerapan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menjadi Undang-Undang.
Pelaku tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak akan dijerat hukuman yang lebih berat jika korbannya lebih dari satu orang yang mana perbuatan kekerasan seksual tersebut mengakibatkan luka berat, gangguan kejiwaan, mengakibatkan penyakit menular, mengakibatkan terganggu jiwanya, mengakibatkan hilangnya fungsi reprodusi, dan / atau mengakibatkan koban meninggal dunia maka pelaku dapat diterapkan pidana mati, pidana seumur hidup atau pidana penjara paling singkar 10 tahun. Sisi laiinya dari hukuman ini adalah juga mengatur tentang sanksi tambahan berupa tindakan kebiri kimia dan pemasangan alat pendeteksi elektronik.
Keberadaan peraturan perundang-undangan ini ada sejak terbit tahun 2016 hingga tahun 2021 Keputusan Pengadilan Negeri Mojokerto terhadap terpina kekerasan seksual pada sembilan korban. Keputusan tersebut ternyata mendapat kecaman dari Komnas HAM bahkan komnas HAM mendesak pemerintah agar segera mencabut peraturan perundang-undangan ini. (CNN Indonesia, 28/8/2019).
Alasan Komnas HAM menyatakan pernyataan tersebut adalah Indonesia telah meratifikasi Konversasi PBB tentang anti ponyiksaan atau hukuman lain yang kejam, tidak manusiawi, dan mengurangi martabat manusia yaitu Resolusi Majelis Umum 39// 46 tanggal 10 Desember 1984.