Lihat ke Halaman Asli

Andi Rohani Amalia

Mahasiswa Ilmu Politik Universitas Padjadjaran

Di Saat Diam Tidak Selamanya Emas

Diperbarui: 4 Desember 2022   15:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Lyfe. Sumber ilustrasi: FREEPIK/8photo

Sering mendengar pepatah 'diam adalah emas'? Terkadang, diam di saat yang tepat merupakan penunjuk bahwa kita adalah orang-orang yang berhati besar dan bahkan bijak. 

Lebih baik diam, daripada berbicara namun yang keluar bukanlah hal yang baik dan menyakiti orang lain, untuk itulah banyak yang percaya diam adalah emas. Tapi, apakah diam dan menyimpan semuanya sendiri dalam hati tetap akan menghasilkan emas? 

Di zaman ini, komunikasi tidak lagi bersifat dua arah. Saat ini, komunikasi bahkan bisa terjadi ke berbagai arah dan dalam waktu yang singkat. Kesempatan kita untuk berbagi cerita dan keluh kesah kapan pun terbuka lebar di era kemajuan teknologi saat ini. Disaat kita sedih, kita bisa berbagi kesedihan tersebut ke kerabat hanya dengan satu deringan telepon. 

Berbagi kesedihan dan meminta saran di sosial media pun sudah menjadi hal biasa untuk dilakukan. Namun, percaya tidak percaya, masih banyak orang memiliki kesulitan untuk membuka diri kepada orang lain. 

Jangankan membuka diri, untuk bercerita mengenai apa yang dirasakannya saat itu saja susah. Tak sedikit dari mereka memilih untuk diam dan menyimpan semua yang dirasakan rapat-rapat sendiri.

Untuk itulah, pembahasan diam tidak selamanya emas ini terasa sangat dekat dengan saya. Sebagai seseorang yang lebih sering menjadi pendengar, saya menyadari bahwa saya sangat jarang berbagi keluh kesah saya kepada orang lain, bahkan ke keluarga terdekat saya. 

Disaat orang lain meminta saya untuk menjelaskan bagaimana hari-hari saya, saya akan kesulitan untuk menyusun kata demi kata untuk mendeskripsikan bagaimana hari saya berjalan. Saya pun saat merasa sedih, cenderung untuk memendam kesedihan itu sendiri, dan menghibur diri sendiri hingga rasa sedih tersebut hilang dengan sendirinya. Konsepnya seperti merasakan sendiri dan menyembuhkan sendiri.

Awalnya, saya merasa bahwa diam saya ini benar-benar emas. Dengan saya diam dan memendam semuanya sendiri, orang tidak perlu terbebani dengan kesedihan saya. Mereka tidak perlu melihat saya yang sedang di titik lemah. Ekspektasi mereka akan saya tidak perlu berubah. Bukankah hal tersebut merupakan emas? Namun, beranjak dewasa, saya menyadari bahwa, menyimpan semuanya sendiri bukanlah hal yang sehat.

Umumnya dalam percakapan baik antara 2 orang maupun grup, terdapat 'sang pendengar' dan 'sang pencerita'. Tak jarang, mereka yang menjadi 'sang pendengar', akan stick to their role dan hanya akan mendengar tanpa bercerita. Tapi, perlu disadari bahwa 'sang pendengar' pun butuh didengarkan. 

Tidaklah sehat jika kita terus-menerus berusaha menampung emosi dan kesedihan orang lain. Our heart can only take so much. Akan ada saatnya dimana sang pendengar akan overwhelmed dengan berbagai emosi yang Ia tampung-dan tidak hanya emosi dirinya sendiri, melainkan juga emosi orang lain. 

Sampai saat ini, membuka diri kepada orang lain masih menjadi hal yang sulit untuk saya lakukan. Saya selalu merasa gelisah, saat seluruh pandangan beralih ke saya saat mereka menunggu saya untuk menceritakan tentang diri saya. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline