Lihat ke Halaman Asli

Issue Jam Mewah – Jam Tiruan dan Dampaknya terhadap Personal Branding Jendral Moeldoko

Diperbarui: 23 Juni 2015   23:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Masih banyak yang mengartikan bahwa Branding adalah Kegiatan Mengiklankan dirinya.

Di perusahaan maupun di tingkat personal, masih banyak miskonsepsi dengan istilah BRANDING. Branding disangka adalah kegiatan yang berkaitan dengan MENGIKLANKAN produk atau diri (personal).

Padahal, Branding itu lebih luas dari kegiatan seputar mengiklankan produk /personal.

Branding adalah proses memberikan pemahaman kepada Audience tentang who we are (untuk personal: siapa diri kita, untuk produk: seperti apa produk yang sedang kita jual).

Branding adalah kegiatan untuk menjelaskan kepada Audience apa keunggulan diri kita dibandingkan dengan alternative yang ada, karena dalam kegiatan sehari-sehari, selalu akan ada proses memilih brand.

Brand yang dipilih itu adalah brand yang dikenal, diingat dan dicintai, disukai, selalu jadi pilihan (loyalitas).

Kegiatan branding ada banyak tahapannya.

- Yang pertama dan yang paling penting adalah proses identifikasi kebutuhan audience dan identifikasi kekuatan diri, manakah yang fit antara apa yang kita miliki dengan apa yang dibutuhkan oleh audiencenya.

- Tahap kedua barulah finetuning menyiapkan tawaran dari apa yang bisa kita berikan kepada audience nya disesuaikan dengan yang dibutuhkan.

- Tahap ketiga: mendeliver benefit, pastikan JANJI Brand terdeliver. Jangan hanya berjanji, tetapi tepatilah.

- Tahap keempat: barulah mengkomunikasikan benefit (ini baru kegiatan IKLAN nya)

- Tahap kelima: adalah tahap BRAND AUDIT atau evaluasi diri, apakah audience sudah memahami kita seperti yang kita cita-citakan, bahwa audience sudah mengenal diri kita seperti yang kita harapkan (tentu saja yang positif).

Dalam audit seringkali ditemukan ada GAP antara citra yang ingin diberikan dengan kenyataan yang ada di lapangan.

Tugas seorang Brand Manager adalah memastikan bahwa ia mengerti seberapa besar GAP antara Keinginan (cita2) vs Kenyataan (citra yang dipersepsikan oleh audience), dan bekerja untuk closing the gap – membereskan masalah brand agar semua yang dikerjakan dan dipersepsikannya sinkron. Ini adalah usaha untuk membentuk Brand yang KUAT.

Personal Brand seorang Jendral Indonesia bukan saja punya beban membina citra bagi dirinya sendiri tetapi juga di dalam nya menyangkut CITRA BANGSA INDONESIA.

Bagus atau buruknya citra Jendral Indonesia akan membawa kebaikan dan sebaliknya adalah keburukan bagi nama besar Indonesia.

Jadi bila dikatakan bahwa issue jam tangan Jendral Moeldoko tidak ada hubungannya dengan Personal branding issue, saya tidak sepakat.

Justru Jendral Moeldoko harus diingatkan bahwa apapun yang dikatakannya, dilakukannya dan dituliskannya akan membawa dampak yang signifikan terhadap Citra (BRAND) Bangsa dan Negara Indonesia.

Istilahnya adalah Co-branding, dua brand yang bersinergi dan dikaitkan. Personal Brand + Nama Negara. Sebagai pejabat publik, ini bukan masalah MAU atau TIDAK MAU. Itu sudah terpadu secara otomatis, bukan pilihan lagi. Setiap pejabat membawa Citra nama bangsa dan Negara.

Apapun yang disampaikan oleh Media, baik itu media lokal, media Internasional bahkan media social sekalipun, harus disikapi dengan baik. Tidak bisa dibiarkan begitu saja.

Apabila Seorang Jendral Indonesia dikatakan menggunakan barang yang terlalu mewah, ini menimbulkan persepsi publik (baik lokal maupun internasional). Pertanyaannya selalu dikaitkan dengan: Apakah beliau mampu membelinya?

Demikian pula dengan jawaban bahwa barang mewah itu ternyata hanya tiruan saja, cukup kredibel kah seorang Jendral Indonesia untuk memberikan sebuah fakta baru bahwa mereka selama ini tidak pernah bermewah-mewahan?

Karena yang dikuatirkan SUDAH TERBENTUK sebuah opini publik tentang “bermewah-mewahnya” pejabat publik Indonesia. Dan, kalau pun ternyata Jendral Moeldoko bukan salah satu dari yang dicitrakan oleh KELOMPOK besar (yang selalu bermewah-mewah), beliau saat ini punya BEBAN untuk meyakinkan publik bahwa beliau adalah OUTLIER (keluar dari kerumunan, tidak sama dengan yang dipersepsikan publik terhadap kelompoknya).

Ini adalah persoalan Personal Branding.

Bagaimana selama ini Jendral Moeldoko dipersepsikan oleh Audience nya? Apakah sebagai seseorang yang down-to-earth yang memang tidak suka ‘pamer’ barang mewah dan citra-citra membumi lainnya?

Branding is a process, not an event. Jadi semua itu merupakan AKUMULASI IMPRESI dari sebuah brand.

Saat ini Brand Jendral Moeldoko sedang dalam masalah, karena audience menjadi punya fakta baru tentang seperti apa gaya hidupnya yang di’wakili’ oleh penggunaan JAM ‘MEWAH’nya itu.

Dan, kalaupun ingin mengatakan bahwa ini jam tiruan, bagaimana citra lama beliau? Apakah selama ini memang tidak pernah mencitrakan kemewahan? Bagaimana dengan laporan harta kekayaan yang cukup fantastis?

Beliau harus bekerja keras untuk mengembalikan CITRA PERSONAL BRAND yang telah deviasi kearah yang berbeda dari CITA-CITA nya sendiri yang tentunya sangat positif sebagai JENDRAL INDONESIA yang punya integritas, yang punya komitmen dalam tugasnya dan tidak usah diragukan lagi ‘kebersihan’ dalam kehidupannya, intinya adalah TRUSTED person.

Membersihkan personal brand name beliau tidaklah mudah, karena menyangkut beberapa tipe stakeholders dengan ciri dan karakteristik yang berbeda-beda dan Perspektif tiap kelompok belum tentu sama.

(1) masyarakat Indonesia pada umumnya,

(2) masyarakat Media Sosial pada khususnya,

(3) Masyarakat Singapura dan dunia/global,

(4) Elit di Singapura yang mungkin punya kepentingan dalam kasus ini,

(5) Elit di Indonesia yang mungkin sedikit banyak cukup terganggu dengan pemberitaan ini, karena adanya CO-BRANDING EFFECT.

Ini bukan pekerjaan sederhana. Harus ada cara yang taktis dan strategis untuk ‘mengembalikan’ lagi brand/citra seorang Jendral Moeldoko, seorang Jendral Indonesia.

Ciri brand yang kuat adalah yang dikenal luas oleh audiencenya dan yang memiliki brand associations yang positif.

Asosiasi miring yang dikaitkan dengan nama Moeldoko bisa menjadi sandungan dalam karir beliau di kemudian hari, termasuk bisa mempengaruhi image Jendral Indonesia pada umumnya bagi masyarakat Internasional. Oleh karenanya, harus dipikirkan bagaimana membersihkannya.

Dan, pemilik brand yaitu beliau sendiri lah yang harus paling concern terhadap ujian personal brand ini.

Jakarta, 27 April 2014

Amalia E. Maulana, Ph.D.

Brand Consultant & Ethnographer, Pakar Personal Brading

Director, ETNOMARK Consulting

Penulis Buku “BRANDMATE”

www.amaliamaulana.com , www.etnomark.com

@etnoamalia

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline