Lihat ke Halaman Asli

Amalia NurAshari

Mahasiswa Universitas Raden Mas Said Surakarta

Child Free dalam Perspektif Islam

Diperbarui: 18 Mei 2024   11:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Setiap makhluk Tuhan diciptakan serta ditakdirkan untuk berpasang-pasangan. Sebagai ummat muslim kita disunahkan untuk menikah. Menikah merupakan salah satu diantara beberapa sunnah Nabi Muhammad SAW yang dikuti oleh ummatnya. Dalam Agama Islam, perkawinan atau pernikahan adalah sebagai bentuk ibadah terlama. Salah satu tujuan sebuah pernikahan adalah mempunyai anak atau keturunanan. Sebab keturunan adalah bagian dari instrument kebahagiaan sebuah pernikahan. Selain itu juga seperti terbangunnya komunikasi yang lancar dan kebersamaan dalam mengarungi setiap suka maupun duka dalam ikatan pernikahan. Pernikahan merupakan suatu bentuk dalam upaya mempererat tali silahturahmi antar sesama manusia. Sebab pernikahan menyatukan dua insan yang berbeda sifat, karakter, suku, etnis serta daerah yang tidak pernah kita kenal sebelumnya. Pernikahan dapat dibilang sebagai awal dari sebuah membangun keluarga, dimana  pernikahan ini salah satu untuk mengembangkan atau meneruskan keturunan serta sebagai penyaluran insting untuk melakukan relasi seksual. Dari penjelasan di atas tentunya kita dapat lebih memahami pernikahan itu sendiri dan bagaimana menciptakan sebuah keluarga yang harmonis dan selalu diberkahi tentunya oleh Allah SWT, adapaun tujuan daripada pernikahan berdasarkan Al-Quran seperti, mengikuti perintah Allah SWT , memperoleh ketenangan, memperoleh keturunan, dan membangun generasi beriman. Memahami tujuan dari pernikahan, tentunya semua bernilai positif bagi manusia termasuk tujuan untuk memiliki keturunan.

Namun akhir-akhir ini ini marak sebuah fenomena adanya kesepakatan antara pasangan suami istri untuk tidak memiliki anak yang lebih dikenal dengan Child Free. Walaupun fenomena ini sudah ada sebelumnya, namun istilah child free baru ramai dibahas ketika seorang public figure dalam media sosial dirinya menganut prinsip child free atau menikah tanpa memiliki anak. Semenjak itulah child free banyak menjadi perhatian masyarakat hingga terungkap bahwa tidak sedikiti generasi milenial saat ini menganut prinsip child free. Seperti halnya youtuber Gita Savitri Devi dia menyatakan bahwa dirinya memilih berprinsip child free. Tak hanya itu, ada pula Chef Juna yang memilih child free dengan alasan bahwa pernikahan tidak mengharuskan punya anak dalam hal ini dia menjelaskan dalam podcast Deddy Corbuzier beberapa bulan lalu. Dari uraian di atas kita tahu bahwa child free bukanlah yang tepat untuk dijadikan suatu pilihan bagi pasangan yang telah menikah, disisi lain kita mengetahui bagaimana besarnya pahala yang didapat dan juga mendapat kebaikan akan adanya buah hati dan semua itu menjadikan ladang pahala bagi kita semua jika benar-benar dilakukan sesuai kaidah yang berlaku. Lalu bagaimana pandangan child free dalam perspektif islam?

Pernikahan adalah salah satu fasilitas resmi dalam membangun rumah tangga serta melahirkan keturunan sesuai dengan fitrah manusia. Tanpa adanya ikatan pernikahan, maka peradaban dan kehidupan manusia tidak akan bersinambung. Sebab itu kenapa Rasulullah menganjurkan jika sudah mampu dapat melangsungkan pernikahnnya. Salah satu tujuannya untuk melahirkan keturunan sebagai penerus generasi umat manusia. Tetapi dibalik tujuan tersebut terdapat beragam alasan dari pasangan suami istri yang memilih untuk tidak mempunyai anak diantarnya kekhwatiran akan terjadi over populasi yang terus menerus meningkat jika dari mereka continue dalam melahirkan keturunan. Sehingga kelebihan populasi anak tersebut akan berimbas pada kesulitan ekonomi, permasalahan fisik yang akan menyebabkan penyakit, traumatic, ketidaksiapan mental, ketidaksiapan dalam mendidik anak, dan kekhawatiran karir yang akan terganggu dengan adanya anak. Hal tersebut pada dasarnya dimulai dari tujuan dan niat hati yang baik, akan tetapi dalam hal culture di Indonesia pandangan tersebut tidak mudah diterima oleh kalangan public. Sehingga dalam hal ini Islam hadir sebagai jawaban atas permasalahan yang dihadapi oleh ummat manusia. Karena islam sendiri agama yang rahmatan lil'alamin yang mana didalamnya diatur dari berbagai perihal dalam kehidupan yang terkecil sampai yang terbesar. Hukum islam dapat diartikan berbagai macam ketentuan yang ada, seperti adanya tujuan hukum, kaidah ushul fiqih, dan banyak pertimbangan lainnya yang harus dipahami. Hal ini terdapat nilai dan tuntunan yang bersifat tetap (tsawabit) tidak pernah berubah dan tidak dapat berubah, ada nilai dan ajaran yang dapat berubah (mutaghayyirat) sesuai dengan illat (motif) landasan hukum. Berkaitan dengan child free untuk menempatkan posisinya dalam hukum islam harus ditentukan dengan landasan hukumnya terlebih dahulu. Jika posisi illat hukumnya sudah memenuhi kategori dharuriyah nya, maka hal ini bebas anak bisa dikatakan sebagai kebolehan. Sebagai contohnya " Seorang istri yang sedang hamil dan akan terancam nyawanya, maka di perbolehkan untuk memilih child free". Atau juga bisa karena tempat tinggal negaranya terancam dalam hal sandang pangan papan, dan kurangnya keamanan maka diperbolehkan untuk child free dimana hal tersebut mengandung mashlahah dharuriyat. Namun jika permasalahannya terkait dengan kekhwatiran perubahan postur tubuh pada saat hamil dan setelah melahirkan seorang anak, maka alasan ini tidak dibenarkan. Menurut Syekh Ibraham Alam child free dapat diqiyaskan dengan azl dianologikan dengan kasus azl atau pemutusan sanggaman sebelum mencapai orgasme sehingga sperma suami keluar dilubang vagina istri. Sehingga hal ini mengakibatkan mani yang dikeluarkan dari suami keluar dari vagina istri atau dengan cara menggunakan alat kontrasepsi antar keduanya ( suami-istri) bertujuan untuk menghalangi terjadi pembuahan (kehamilan).

Menurut pandangan Imam Al-Ghazali azl hukumnya diperbolehkan, tidak makruh apabila haram dikarenakan masuk pada kategori meninggalkan keutamaan tetapi tidak sampai kepada yang haram (tarkul afdhal). Imam Al-Ghazali mengatakan bahwa "Saya berpendapat bahwa azl hukumnya tidak makruh dengan makna makruh tahrim atau makruh makruh tanzih, sebab untuk menetapkan larangan terhadap sesuatu hanya dapat dilakukan dengan dasar nash atau qiyas pada nash. Padahal tidak ada nash maupun asal qiyas yang dapat dijadikan dalil makruhkan azl. Justru yang ada adalah asal qiyas yang memperbolehkan , yaitu tidak menikah sama sekali, tidak bersetubuh setelah pernikahan, atau tidak inzal menumpahkan sperma setelah memasukkan penis ke vagina. Semuanya hanya tindakan meninggalkan keutamaan, bukan tindakan melakukan hal larangan. Semuanya tidak ada bedanya sebab anak akan berpotensi wujud dengan bertempatnya sperma di rahim perempuan."Sesuai dengan pendapat Imam Al-Ghazali diatas maka child free yang dilakukan dengan cara azl hukumnya diperbolehkan. Akan tetapi jika child free dilakukan dengan meniadakan dari system reproduksi secara total maupun secara sengaja maka hukumnya akan berbeda. Hal tersebut sependapat dengan Sayed Abi Bakr dalam kitab i, aanatu at-thaalibiin yang menjelaskan bahwa dalam pengunaan alat yang bisa memutuskan kehamilan dari sumbernya maka hukumnya haram. Menurut Imam Al-Ramli apabila sepasang suami istri hanya untuk menunda kehamilan baik itu menggunakan alat ataupun tidak (dalam artian secara alami) tanpa memutuskan kehamilan dari sumbernya, maka hukumnya akan diperbolehkan. Hal ini dapat menjadi Solusi alternatif bagi pasangan suami istri yang belum siap untuk memiliki seorang anak. Dengan masa penundaan ini kehamilan dari pasangan suami istri menjadi saling belajar satu sama lain untuk mempersiapkan diri dengan baik, baik secara mental, financial, dan faktor ekonomi agar terbentuk keluarga yang penuh dengan kebahagiaan dengan adanya keturunan. Sehingga sikap untuk tidak mempunyai anak (child free) tidaklah selalu dinilai sebagai hal negatif oleh pandangan orang lain.

Dalam perspektif Islam, tidak ada larangan atau keharusan yang spesifik terkait dengan keputusan untuk menjadi child free atau tidak memiliki anak. Agama Islam menghargai kebebasan individu dalam memutuskan tentang kehidupan pribadi mereka, termasuk keputusan dalam hal memiliki atau tidak memiliki anak. Namun di sisi lain dalam Islam keluarga dan keturunan dianggap penting karena memiliki nilai nilai yang positif. Kehadiran anak dipandang sebagai anugerah terindah dari  Allah, dan memiliki anak dianggap sebagai tanggung jawab untuk membentuk sebuah keluarga yang harmonis dan meneruskan keturunan. Meskipun demikian, Islam juga mengakui adanya situasi khusus atau kondisi tertentu yang memungkinkan seseorang atau satu pasangan mengambil keputusan untuk tidak memiliki anak misalnya, kemandulan baik pria maupun penyakit tertentu yang membahayakan  nyawa sang istri pada saat mengandung, keuangan, tanggung jawab terhadap pengasuhan anak yang membutuhkan sumber daya ekstra, atau bahkan dalam menghadapi tantangan dunia yang lebih luas seperti sandang, pangan, dan papan. Dalam mengambil keputusan tentang menjadi child free dalam perspektif Islam, penting untuk memperhatikan nilai-nilai agama, etika, pertimbangan praktis, dan keseimbangan antara keinginan pribadi dengan tanggung jawab sebagai umat Muslim. Keputusan ini sebaiknya diambil dengan mempertimbangkan kesejahteraan diri sendiri, hubungan pernikahan, dan implasi jangka panjang bagi individu dan masyarakat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline