Nama ibuku adalah Esti Sinaga. Ia lahir di Lontung Samosir pada 18 Mei 1943. Ia tidak pernah bersekolah. Namun, tentang nominal uang ia sangat paham. Ia sederhana dan mensyukuri hidup. Pada usia 67 tahun ia menghadap Sang Pencipta karena kanker lidah.
Ayah dan Ibu mendidik kami dengan teladan hidup. Pagi sekali, sebelum ayam berkokok ibu telah berada di dapur dan menyiapkan sarapan pagi. Segera ia membangunkan aku dan adik-adikku agar kami ringan tangan mengerjakan tugas di rumah. Aku memeras susu kerbau. Adik-adikku ada yang mencuci pakaian, menyapu rumah, memberi makan ternak. Itu adalah rutinitas kami di saat pagi. Setelah sarapan, kami bergegas ke sekolah.
Seringkali ketika kami bangun, ayah telah pergi ke ladang. Dua jam berikutnya, ibuku pasti menyusul. Ia menjunjung keranjang berisi sarapan untuk ayah yang telah bekerja di ladang. Saya dan adik menyusul untuk membantu. Saat matahari berada di ufuk barat kami pulang. Kaki melangkah dengan sisa tenaga diiringi desah nafas silih berganti.
Pada malam hari, kami duduk melingkar untuk santap malam bersama. Secara bergantian kami memimpin doa. Mata tertutup, tangan mengatup dan bibir berucap untuk mohon berkat Tuhan.
Pada suatu malam, saat itu kami masih usia sekolah dasar. Mereka memberi tanggung jawab kepada kami.
"Nak, Bapak dan Ibu dalam 2-3 hari ke depan akan ke Toba. Ada pesta. Seperti biasa, ingat tugas masing-masing. Harus bisa bekerja sama".
Setelah makan, mereka menjelaskan siapa yang sedang menikah serta hubungan kekeluargaan kami. Penjelasan mereka memberi arti pentingnya keluarga bagi kami. Sambil menjelaskan, ayah menyetrika celana dan kemeja. Ibu merapikannya serta memasukkan pakaian ke dalam tas. Dan pagi sekali, mereka bangun dan menerobos fajar yang dingin untuk mengejar kendaraan umum yang paling awal berangkat.
Tekad kami adalah bisa bertanggung jawab atas tugas dan kami buktikan saat mereka kembali lagi. Puji Tuhan raut muka mereka menunjukkan kegembiraan saat tiba di rumah. Bahasa non verbal itu menambah keyakinanku bahwa kami dapat mengemban tugas dengan baik.
"Ayo, mari nikmati kue ini!" seru ibu dan ayah.
"Bagi ke teman-temanmu, ya. Kuenya hanya sedikit. Tadi, kue abangnya hanya tinggal ini. Ayah dan ibu terburu-buru. Supir bus sudah menunggu. Ayo, makanlah. Beri sedikit ke temanmu, ya."
Memang, kami biasa menunggu buah tangan tiap mereka pulang dari jauh. Kami duduk melingkar. Aroma kue itu menggoda dan benar enak. Aku tahu mereka biasa membeli kue itu di terminal bus Pematang Siantar.