Lihat ke Halaman Asli

Belajar dari Sandiaga Uno (Bagian 1)

Diperbarui: 26 Juni 2015   15:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Kunci Sukses: Yakin, Syukur dan Ihlas

Kamis siang kemarin saya berkesempatan duduk dan berdiskusi  bersama Sandiaga S Uno, di wisma Antara Jakarta. Pertemuan ini difasilitasi sahabat saya, Dr Mukhlis Yusuf, Direktur Utama kantor berita Antara.  Saya memang sejak awal berniat ingin belajar banyak dari Sandiaga Uno. Saya menyimak baik-baik kalimat demi kalimat yang disampaikan Sandi, saya catat di BlackBerry.

Apa yang saya pelajari dari pengusaha muda yang termasuk orang terkaya di republik ini, akan saya bagi kepada teman-teman melalui forum ini. Saya akan menuliskan dalam beberapa edisi. Semoga saya tidak salah menerjemahkan apa yang disampaikan oleh Sandiaga Uno yang kini menjadi kandidat Ketua KADIN paling favorit.

Nama lengkapnya Sandiaga Sholahuddin Uno. Masih sangat muda, 40 tahun. Saya sebenarnya lebih banyak mengenal ibunya, Mien R Uno dan pamannya Profesor Arief Rachman. Keduanya adalah seorang pendidik, alias guru. Ketika masih bekerja sebagai wartawan televisi, sekitar tahun 1993-1996 saya sudah mengenal sosok Mien Uno. Bahkan kami pernah bersama-sama  menjadi “pemandu” jamaah haji  dari perusahaan travel haji ternama saat itu, Tiga Utama milik pengusaha Ande Latif. Hanya saja bedanya, saya “ikut” agar bisa berangkat haji gratisan dan bisa membuat  naskah berita seputar ibadah haji yang disiarkan di televisi. Ibu Mien Uno adalah tokoh yag memang menjadi pemandu resmi bersama ustadz-ustadz ternama lainnya melayani jamaah haji.

“Saya dilahirkan dari keluarga guru. Ibu saya, paman saya, kebanyakan keluarga saya adalah pengajar. Jadilah saya generasi pertama dari keluarga Uno yang menjadi pengusaha. Itupun karena terpaksa oleh keadaan ”, begitulah kalimat pertama yang dia sampaikan.

Dari kalimat itu Sandiaga Uno seperti hendak mejelaskan, saat ini masih berkembang mitos di masyarakat, bahwa pengusaha hebat, adalah bakat dan lahir dari lingkungan pengusaha besar. Mito situ sudah terbukti tidak benar. Bahwa seseorang yang hidup di lingkungan keluarga pengusaha ,bisa belajar lebih cepat menjadi pengusaha, mungkin benar. Sebab, sehari-hari sudah terbiasa dengan habit pengusaha. Bekerja keras, fokus dan fokus. Soal fokus ini, senior saya pak Dahlan Iskan (Dirut PLN) sering mengatakan, “kalian jangan murtad”, alias merambah ke berbagai bidang usaha, sebelum memiliki fundamental yang kuat di bisnis utama.

Sebelum memulai bisnis 12 tahun lalu, Sandiaga Uno adalah seorang professional muda, berpendidikan bagus dan bekerja di perusahaan besar dengan gaji dan fasilitas yang cukup baik. Ketika dia lulus kuliah di Amerika, Sandi bekerja di lembaga keuangan besar. “Saat itu saya sudah merencanakan keuangan pribadi. Tidak semua gaji dihabiskan, melainkan diinvestasikan. Krisis ekonomi tahun 1997 membuat semuanya berantakan. Perusahaan bangkrut, saya di PHK, dan semua investasi saya lenyap”, katanya.

Memang, bukan hanya seorang Sandiaga Uno saja yang mengalami situasi seperti itu. Jutaan orang diseluruh dunia juga mengalami penderitaan akibat kebangkrutan ekonomi. Bedanya, kebanyakan orang hanya bisa mengeluh, dan tidak berdaya. Sedangkan Sandiaga Uno memilih langkah lain yang sangat berdaya, sebagai bentuk rasa syukurnya kepada Allah, Tuhan yang Maha Kuasa.
Ada tiga kunci sukses yang disebutkan Sandiaga Uno dan dijalankan sampai hari ini. Pertama adalah Yakin bahwa Tuhan akan membuka jalan untuk pencapaian usahanya, kedua adalah bersyukur, dan ketiga adalah ikhlas. Dalam artikel pertama ini, saya akan khusus mengulas tentang bagaimana Sandiaga Uno belajar bersyukur, dan bagaimana caranya mewujudkan rasa syukur. Bukan sekedar berucap alhamdulilah  tetapi dalam langkah sehari-hari menjadi manusia berdaya.
Akibat kebangkrutan , Sandiaga Uno memboyong anak dan istrinya pulang ke Indonesia. Inilah saat pertama dia meminta bantuan kepada orang tuanya. Selama 12 tahun sekolah di Amerika dia tidak pernah minta bantuan keluarga. Sandiaga Uno sangat mandiri.
“Saya harus minta ijin kepada ayah dan ibu untuk tinggal di rumah mereka. Saat itu saya tidak punya rumah”, katanya sambil menerawang.

Menurut Sandi, dia bersama istrinya terus mewujudkan rasa syukurnya dengan cara memgoptimalkan fungsi-fungsi dari segala yang sudah dikaruniakan Tuhan. Pendidikan tinggi, pengetahuan tentang keuangan yang baik, jaringan internasional yang dimiliki, dan yang sangat penting adalah karakter serta integritasnya, menjadi  modal utama sebelum modal finansial.  Modal non finansial inilah yang dimaksimalkan, menjadi modal untuk berdaya, sebagai bentuk rasa syukur. Kebangkrutan telah membuat Sandiaga Uno mencari ide-ide besar. Ide-ide dan gagasan besar itu dipadukan dengan networking, dan trust. Dan lahirlah perusahaan yang bernama Saratoga.
Di Indonesia  Sandiaga Uno memulai membangun bisnis, membangun PT Saratoga, dengan empat orang karyawan. Dia menyewa sebuah ruang kecil yang lantainya berkarpet lusuh.“ Saat itu saya tidak pernah berani mengundang klien ke kantor. Semua pertemuan dilakukan di lobi hotel. “, kenangnya. Saat ini Group bisnis yang dimiliki Sandiaga Uno mempekerjakan lebih dari 20 ribu orang, tersebar di sector pertambangan, energy, telekomunikasi, property dan sector keuangan. (bersambung)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline