Lihat ke Halaman Asli

Ngobrol Bersama Anas Urbaningrum di Warung Kopi

Diperbarui: 26 Juni 2015   16:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Kemarin pagi saya  berjumpa dengan seorang sahabat, Anas Urbaningrum, di sebuah warung kecil, menikmati kopi tubruk dan singkong goreng. Sudah agak lama kami tidak saling jumpa, terutama sejak dia sibuk mengurus hiruk pikuk panitia khusus Bank Century. Sedangkan saya sibuk mengurus bisnis pupuk organik cair dan oraganisasi Persaudaraan Masyarakat Tani (PERMATA) Indonesia. Anas sibuk dengan persiapan pencalonan dirinya sebagai Ketua Umum Partai Demokrat, saya lebih banyak berurusan dengan sawah dan petani.

Seperti biasanya pertemuan  kami penuh dengan kelakar dan banyolan khas Jawa Timur. Topik utama yang menjadi materi wajib dalam setiap obrolan kami adalah seputar hubungan Nahdhatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah. Seputar kisah-kisah lucu dan kisah konyol yang terbingkai dalam kemasan  "Hidup Cara Muhammadiyah, Mati Cara NU". Maka humor khas pesantren pun terus mengalir dan  mampu  menjadikan suasana warung kopi sederhana tempat kami nongkrong serasa di Istana Negara

Pertemuan kemarin  pagi sebenarnya tidak kami rencanakan. Tiba-tiba saja Anas menghubungi saya. Dia mengeluh agak kurang sehat. Katanya mau ke tabib (dokter-Red). Mendengar keluhan itu, tentu saya langsung bertanya, " Sakit apa Ketua..?".

Dari seberang Anas  langsung menyahut, "Saya harus ke tabib Alghozali...", katanya mulai berkelakar. Maka langsung saja kami sepakat jumpa di warung kopi.

Dalam perjalanan menuju ke warung kopi  saya berkata dalam hati, pasti Anas sedang gundah gulana, atau lelah menghadapi berbagai tekanan pekerjaan maupun tekanan politik berkaitan dengan kasus Bank Century, sehingga dia perlu dihibur. Selama ini  teman-teman saya, mulai petani, politisi, bankir, dosen dan kyai mengaku terhibur jika ada saya dalam pertemuan apapun. Mereka bilang, saya memiliki stok humor yang selalu segar.

Tetapi kali ini dugaan saya salah. Justru Anas yang lebih banyak menghibur saya dan memberikan nasehat-nasehat tanpa sedikitpun bernuansa menggurui. Itulah salah satu kelebihannya sehingga Anas bisa membangun pemasaran komunikasi politiknya dengan baik , termasuk dengan teman-teman yang secara politik berseberangan sekalipun.

Saya memang jarang memanggil Anas dengan namanya. Kebiasaan dari dahulu kala, saya memanggil dia dengan sebutan Ketua, meskipun usianya empat tahun lebih muda dari saya. Dan ternyata sebutan Ketua selalu cocok untuk Anas, sebab dia selalu menjadi ketua di berbagai organisasi. Sejak sekolah Tsanawiyah (setingkat SMP) di kampung, Blitar, Jawa Timur, saat kuliah di Universitas Airlangga Surabaya, sampai hari ini jabatan ketua selalu dia sandang. Saat ini dia Ketua Fraksi Demokrat di DPR dan juga Ketua DPP Partai Demokrat.

Kembali ke soal tabib. Begitu kami bertemu di warung  dan memesan kopi tubruk ditemani singkong goreng, saya membuka pembicaraan. Kali ini bukan saya yang membanyol, tetapi justru Anas yang banyak melempar guyonan segar ketika bercerita tentang bagaimana program pemasaran komunikasi politiknya selama ini .

Menurut Anas, perang opini antar kandidat Ketua Umum Partai Demokrat telah ditafsirkan oleh masyarakat seolah sebagai kompetisi liga dalam group keras. Khususnya kubu Menpora Andi Mallarangeng yang didukung putra Presiden SBY dan Kubu Anas Urbaningrum yang dipersepsikan oleh publik sebagai kekuatan arus bawah.

"Kita sudah sangat berpengalaman mengelola hati dan pikiran, mengelola  nafsu dan rasa. Sesungguhnya pertarungan memperebutkan jabatan ketua umum sebuah organisasi yang paling keras adalah di lingkungan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Sebab di HMI persaingannya adalah dalam menjual gagasan. Menjual ide-ide besar. Dan di HMI tradisi intelektual dibangun secara baik", katanya.

Selama ini figur Anas Urbaningrum dinilai oleh kalangan media dan politisi sebagai pewaris tradisi intelektual mantan ketua umum HMI Prof. Dr. Nurcholosh Madjid ( Cak Nur alm.). Ketika Cak Nur muda pada zamannya mengusung ide "Islam Yes, Politik No", mendapatkan reaksi keras dari kalangan umat Islam sendiri.

Hal yang sama tetapi berbeda konteks juga muncul dari pemikiran Anas ketika berpidato pada acara deklarasi pencalonannya sebagai ketua umum Partai Demokrat 15 April lalu di Jakarta. Saat itu Anas mengatakan,untuk menjadi partai besar dan modern, Partai Demokrat harus memperkuat  kelembagaan bukan mengandalkan figur. Figur dan pemikiran Pak SBY sebagai pendiri Partai Demokrat harus dilembagakan. Pemikiran ini menjadi kontroversi dan menurut Anas telah "diplintir" oleh banyak pihak, seolah Anas melawan pemikiran SBY.

Menurut saya, apa yang disampaikan oleh Anas sangat masuk akal. Sebab yang dipertontonkan oleh media kita tentang persaingan para kandidat Ketua Umum Partai Demokrat selama dua bulan ini hanyalah intrik politik dan pamer kekuatan dengan menggunakan klaim dukungan. Para kandidat bersama tim suksesnya lebih sibuk menjelaskan kepada publik bahwa dialah calon Ketua Umum yang direstui Presiden SBY, sang pendiri sekaligus Ketua Dewan Pembina.

Menurut Anas Urbaningrum, bahwa seorang Ketua Umum Partai Demokrat harus kenal dekat dan memiliki hubungan baik dengan Presiden SBY, itu sudah tidak perlu lagi dijadikan "selling point" dalam pemasaran politik. Sebab, semua calon ketua umum adalah kader-kader terbaik partai dan dipercaya oleh SBY menempati posisi-posisi penting di lembaga politik, baik di DPR maupun di lingkungan pemerintah.

"Yang membuat saya heran dan sering tertawa adalah, ketika sekarang ini terjadi mobilisasi opini secara masif dan terstruktur, seolah Anas akan membawa Partai Demokrat meninggalkan Pak SBY", katanya sambil tertawa lebar.

Lanjutan tentang obrolan politik saya bersama Anas Urbaningrum, akan saya tulis lagi nanti sore. Saya tidak bisa lagi konsentrasi karena terus menerus tertawa sendiri mengingat hal-hal lucu dan konyol yang dipertontonkan para politisi terkenal dalam rangkan "menjual" dirinya.

Salam,

Amal Alghozali

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline