Lihat ke Halaman Asli

Tragis, Swasta dan Asing akan Gantikan Petani?

Diperbarui: 26 Juni 2015   16:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

[caption id="attachment_129116" align="alignright" width="300" caption="Ilustrasi/Admin (Kompas/Mukhamad Kurniawan)"][/caption]

Dalam penerbangan pulang dari luar negeri kemarin siang (Rabu/28/4/2010), saya sempat membaca berita mengenai masa depan pertanian Indonesia di halaman pertama sebuah koran nasional. Sangat jarang masalah pertanian mendapatkan porsi di halaman pertama koran-koran di Indonesia, meski kita sering menyebut negara Indonesia adalah negara agraris.

Setelah membaca beberapa alenia dari berita tersebut, saya langsung teringat wajah para petani anggota Persaudaraan Masyarakat Tani (PERMATA) Indonesia di sentra produksi padi dan jagung, khsusnya di luar Jawa.. Sekitar tiga tahun lalu dalam sebuah diskusi informal dengan mereka di sebuah balai pertemuan desa, kami sempat mengkhawatirkan tentang kemungkinan segera tiba masanya, soal ketersediaan pangan nasional tidak lagi dikendalikan oleh pemerintah maupun rakyat Indonesia. Akan segera tiba masanya, ketahanan pangan rakyat Indonesia dikendalikan oleh perusahaan swasta maupun investor asing.

Artinya, rakyat, khususnya petani Indonesia yang selama ini menjadi tulang punggung ketahanan pangan, akan semakin terpinggirkan. Akan tiba masanya, para petani kita menjadi buruh di lahan mereka sendiri, mengabdi kepada majikan dari luar negeri yang disebut dengan nama investor. Dan masa yang kami khawatirkan itu, kini benar-benar telah tiba.

Keluarnya Peraturan Pemerintah No 18 Tahun 2008 Tentang Budidaya Tanaman, adalah pintu gerbang bagi masuknya kekuatan asing dalam bisnis pangan yang selama ini menjadi andalan hidup lebih dari 25 juta rumah tangga petani Indonesia, atau sekitar 100 juta jiwa penduduk kita. Peraturan Pemerintah tersebut menyerahkan usaha budidaya pangan kepada swasta dan asing.

Saya sungguh tidak mengerti apakah DPR kita, khususnya komisi yang membidangi pertanian sempat diajak diskusi mengenai masalah ini sebelum ditetapkan dalam sebuah peraturan pemerintah. Memang yang namanya Peraturan Pemerintah, adalah domain pemerintah, dan dalam hal ini adalah wilayahnya Presiden dan Mentri Pertanian sebagai departemen teknis. Bahwa departemen pertanian, khususnya dalam beberapa tahun terakhir ini, sering mengeluarkan kebijakan penting tanpa mengajak bicara para pemangku kepentingan bidang pertanian, kami semua para penggiat dunia pertanian sudah maklum. Sebab, mentri pertanian bukanlah pelaku usaha tani. Mentri adalah jabatan politik. Dan mentri pertanian adalah seorang politisi.

Tampaknya komisi bidang pertanian DPR RI sama sekali tidak diajak diskusi menganai hal ikhwal PP 18/2010 ini. Terbukti salah seorang anggota Komisi IV DPR Ir. Siswono Yudhohusodo yang juga mantan Ketua Umum HKTI mengingatkan pemerintah agar tidak tergesa menerapkan aturan tersebut dan minta segera direv isi. Demikian juga teman-teman yang saat ini memimpin organisasi dan asosiasi bidang pertanian. Semua menyatakan kecewa kepada pemerintah.

Kita semua pasti masih ingat, kebijakan pemerintah yang telah menjadikan rakyat kita di Sumatera dan Kalimantan menjadi buruh di perkebunan sawit di lahan mereka sendiri yang kini dikuasai investor dengan status Hak Guna Usaha. Ironis memang. Tanah yang dipakai dengan status Hak Guna Usaha adalah tanah milik bangsa Indonesia. Untuk membangun perkebunan menggunakan modal hutang bank, ya bank milik pemerintah Indonesia. Dan rakyat pemilik lama lahan-lahan tersebut hanya sekedar menjadi buruh harian di perkebunan. Yang paling tragis, ketika beberapa tahun lalu rakyat Indonesia kesulitan mendapatkan minyak goreng, pemerintah seperti tidak berdaya. Dan yang dilakukan hanyalah sebatas menjalankan subsidi pengadaan minyak goreng. Bukan mengubah kebijakan dasar yang menjadi sumber masalah.

Hal yang sama, hanya berbeda bentuk, akan segera terjadi di bidang tanaman pangan, seperti padi jagung, kedelai dan singkong. Pada saatnya para petani kita akan menjadi buruh di sawah yang dikuasai oleh pengusaha dari Singapura, Timur Tengah dan negara-negara kaya lainnya. Dan pada saat rakyat membutuhkan beras, pemerintah juga tidak akan berdaya.

Selama ini petani kita adalah investor paling mandiri, tanpa bantuan bank dan tanpa fasilitas macam-macam seperti yang diminta oleh investor. Saat ini petani kita mampu memproduksi beras sebanyak 35 juta ton setahun. Modal untuk membuat beras sekitar 400 dollar per ton. Artinya perputaran modal kerja petani untuk memproduksi beras, besarnya mencapai 150 trilyun rupiah pertahun. Dari jumlah itu, peran perbankan dalam memberikan kredit pertanian tanaman pangan, nyaris tidak ada, dengan alasan tidak ada collateral alias jaminan. Total kredit pertanian kita tidak sampai satu trilyun rupiah setahun. Bandingkan dengan membanjirnya kredit perbankan , khsusnya bank-bank milik pemerintah kepada perusahaan-perusahaan yang mengelola perkebunan sawit.

Ini semua adalah soal rasa keadilan. Ini semua adalah soal kepekaan dan sikap politik. Apapun isi pidatonya para politisi dan pejabat, yang harus kita percaya adalah keputusan yang ditandatanganinya. Dan keputusan/kebijakan-kebijakannya itulah isi dan sikap politik mereka yang sesungguhnya tentang rakyatnya.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline