Lihat ke Halaman Asli

Bea Ekspor Kakao, Kebijakan yang Syarat Kepentingan

Diperbarui: 26 Juni 2015   16:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Ini adalah tulisan saya yang kesekian kalinya tentang nasib teman-teman saya petani kakao. Sebagai Ketua Umum Persaudaraan Masyarakat Tani (Permata) Indonesia, sejak tahun lalu saya bersama teman-teman di daerah sentra produksi kakao mengupayakan agar “ide gila” pemerintah memberlakukan pungutan ekspor kakao tidak dilaksanakan. Sebab, kebijakan ini akan lebih banyak mudharatnya daripada manfaatnya. Pendapatan Negara dari pungutan ekspor kakao tidak sebanding dengan penderitaan yang dialami jutaan keluarga petani.

Kemarin memang saya mendapat kabar bahwa Peraturan Menteri Keuangan mengenai bea ekspor kakao ditunda pelaksanaannya. Penundaan ini berkaitan dengan makin kerasnya protes dari berbagai pihak. Belum jelas sampai kapan penundaan itu. Sekilas, kabar tentang penundaan pemberlakuan bea ekspor kakao adalah “kebaikan” bahkan bentuk dari sikap “bijak” nya pemerintah. Tapi ini sebenarnya adalah sikap konyol. Sikap yang diambil dengan model tiba masa tiba akal. Tanpa pemikiran yang jernih.

Pemerintah sepertinya menutup mata terhadap kondisi yang terjadi di lapangan. Akibat dikeluarkannya Peraturan Menteri Keuangan mengenai bea ekspor kakao yang besarnya mencapai 15 persen, harga kakao di tingkat petani mengalami terjun bebas dari  Rp.23.000, menjadi Rp.13 000 per kilogram. Sebab, semua kegiatan transaksi ekspor kakao berhenti. Eksportir tidak bisa serta merta menaikkan harga ekspor karena terikat kontrak. Konsekwensinya, eksportir menghentikan pembelian kepada petani. Dan, berlakulah hukum alam mengenai permintaan dan penawaran.

Apakah dengan penundaan pembelakuan bea ekspor ini otomatis akan memulihkan harga? Itu tidak mungkin. Itu mustahil. Kalaupun ada pergerakan kenaikan harga, membutuhkan waktu lama. Sebab stok biji kakau di tangan petani sedang menumpuk. Sedangkan kebutuhan hidup tidak bisa ditunda.

Menurut saya, silang pendapat mengenai bea ekspor kakao ini sejatinya adalah sebuah sindikat kejahatan yang dikemas dengan berbagai cara yang seolah sangat masuk akal. Kemasan utamanya adalah demi melindungi dan mendorong tumbuhnya industri olahan kakao dalam negeri. Sebab, banyak pabrik olahan kakao mengaku tidak bisa mendapatkan pasokan bahan baku karena petani lebih suka mengekspor hasil produksinya.

Ini adalah hal yang sangat aneh bin ajaib. Faktanya, produksi kakao nasional mencapai hampir 560.000 ton pertahun. Sedangkan kebutuhan industry dalam negeri kurang dari separuhnya. Artinya tidak ada masalah dengan pasokan bahan baku. Yang sebenarnya terjadi adalah, petani ingin untung. Petani ingin terjadi  yang fair.

Mengapa petani lebih senang menjual produksinya kepada eksportir? Karena mereka bisa mendapatkan pembayaran tunai. Sedangkan jika petani menjual ke industry olahan kakao di Jawa, membutuhkan waktu sampai dua m inggu untuk menerima pembayaran. Mengapa bisa begitu? Karena eksportir memiliki gudang penampungan di sentra-sentra produksi kakao. Eksportir bisa membayar tunai ketika biji kakao selesai ditimbang. Sedangkan pabrik-pabrik pengolahan kakao tidak ada yang memiliki gudang di sentra produksi kakao. Artinya, biji kakao harus dikapalkan ke Jawa.

Begitu mudahnya ternyata seseorang atau kelompok tertentu mencari uang atau menangguk keuntungan, hanya dengan kemampuan mempengaruhi kebijakan pemerintah. Tidak peduli akibat kebijakan itu jutaan orang menderita. Kebijakan mengenai kakao ini menggambarkan bahwa masih banyak lagi kebijakan pemerintah yang syarat dengan kepentingan kelompok tertentu dan permainan kotor.

Salam,

Amal Algozali




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline