Lihat ke Halaman Asli

Semua Berawal dari Hal Kecil

Diperbarui: 17 Juni 2015   15:23

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Jika kita membicarakan korupsi, sepertinya sudah begitu “membudaya” di negeri ini. Mulai dari sebuah lingkungan kecil, misalnya RT sampai ke sebuah institusi besar tak pernah luput dari korupsi.  Namun yang selalu  terlintas di pikiran kita hanyalah penyelewengan uang negara yang begitu besar, ratusan juta, milyaran, bahkan triliunan juta yang diselewengkan. “tokoh-tokoh” yang kemudian muncul di kepala kita kemudian adalah Muhammad Nazarudin, Angelina Sondakh, Akil Mochtar dan lain-lain. Siapa yang tak benci dengan korupsi? Semua orang yang masih memiliki pikiran yang waras pasti membencinya. Akhir-akhir ini semakin banyak LSM, organisasi yang menyuarakan melawan korupsi. Meskipun semakin banyak yang menyuarakan melawan korupsi akan tetapi mengapa setiap tahun kasus korupsi justru semakin meningkat? Barangkali karena kita sering membenarkan sesuatu yang kita anggap biasa dan bukan membiasakan yang benar.

Misalnya saja budaya “nitip” absen di kalangn mahasiswa yang seolah telah menjadi hal yang lumrah. Barangkali itu yang sering terjadi, jika tidak masuk lantas meminta orang lain untuk menandatangani absen kita. Jika kita melihat para anggota dewan yang mangkir pada saat sidang saja geram, kenapa kita menirunya? Bukankah masuk kuliah itu kewajiban kita? Jika memang berhalangan tidak masuk, lebih baik membuat surat ijin atau jika memang membolos, biarkan saja absen itu, toh itu memang resiko jika kita tidak masuk kuliah. Barangkali kelihatannya sepele tapi kalau terus-terusan bisa jadi kebiasaan yang mungkin akan kita bawa hingga tua nanti, mungkin saja para anggota dewan yang terhormat itu pun ketika kuliah dulu sering melakukan hal itu sehingga lama-kelamaan menjadi kebiasaan hingga ia menjadi seorang wakil rakyat.

Kedua yang juga merupakan penyakit siswa dan mahasiswa adalah mencontek. Barangkali selama ini kita anggap hal itu adalah hal kecil yang tidak perlu dikhawatirkan karena kita anggap tidak ada pihak yang kita rugikan. Namun sebenarnya tanpa kita sadari, kita sendirilah yang menjadi pihak yang dirugikan. Karena kita tidak akan tahu seberapa jauh sesungguhnya kemampuan kita.  Mungkin kita baru akan menyadari dampak mencontek itu ketika bekerja nanti. Kita baru akan sadar  ternyata otak kita kosong, meskipun nilai dalam ijazah tinggi. Sebenarnya dalam hal ini pengawas tes juga bersalah. Karena selama ini yang sering terjadi adalah tidak tegasnya pengawas dalam memberikan sanksi. Sehingga tidak mengakibatkan efek jera di kalangan siswa dan mahasiswa. Coba saja bayangkan, apabila pengawas benar-benar menindak siswa maupun mahasiswa yang mencontek, maka tidak ada yang akan berani melakukannya.

Barangkali itulah yang selama ini terjadi di negeri ini. Semenjak di bangku sekolah hingga kuliah kebiasaan buruk tersebut terus dipelihara, bahkan hingga dianggap sebagai sesuatu yang sudah biasa. Memang hanya sebuah kesalahan “kecil”. Akan tetapi jika terus –menerus dibenarkan maka inilah yang terjadi. Hingga kita bekerja bahkan ketika ada yang menjabat sebagai wakil rakyat pun kebiasaan itu terus dibawa. Dan bisa ditebak, jika sudah menjadi kebiasaan sejak dini maka akan mudah saja ia melakukan penyelewengan-penyelewengan. Coba kita bayangkan jika sejak dini  sudah terbiasa membiasakan yang benar, barangkali ketika suatu saat memangku jabatan dalam pemerintahan maka tak akan mudah ketika akan melakukan korupsi maupun penyelewengan-penyelewengan lainnya. Oleh karena itu marilah dari sekarang kita mulai membiasakan mulai dari hal-hal kecil untuk selalu menomorsatukan kejujuran.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline