Baru seminggu saya menulis di Kompasiana mengenai perbuatan teroris di dalam negeri yang meruntuhkan perekonomian kita , dan terutama kepariwisataaan serta industri pariwisatanya pada awal tahun 2000-an hingga menjelang 2015-an, mendadak bom bunuh diri yang memotong-potong tubuh suami isteri L dan YSF dilakukan di pintu gerbang Katedral Katolik di pusat kota Makassar pada pagi hari Minggu 28 Maret lalu.
Dua puluh orang jemaat dan security Katedral yang berada di pelataran gereja itu terluka. Mereka harus dirawat di RS Bhayangkara dan RS Siloam serta beberapa orang itu sudah boleh pulang, hanya rawat jalan. Kesemua biayanya menjadi tanggungan Negara. Itu merupakan kejahatan di hari pertama dari rangkaan hari-suci umat Katolik merayakan Paskah pada tahun ini.
Tragedi yang menjadikan Kapolri baru, Jenderal P(Pol) Setya Budi Prabowo dan Panglima TNI Marsekal TNI Hadi Tjahjanto datang ke lokasi di Makassar dengan tekad melalui pernyataaan Kapolri, bahwa akan mengungkap tuntas terorisme itu. Pada hal, sejak akhir Februari-Maret dilakukan penangkapan besar-besaran terduga teroris, namun masih "kebobolan" oleh ulah mereka di Makassar itu.
Baik yang ditangkap maupun pelaku di Katedral tersebut dilakukan oleh kelompok yang sama, terutama kelompok JAD (Jamaah Ansharut Daulah yang beraliran ISIS/Daesh). Sudah dapat ditangkap lebih dari 67 orang di 6 provinsi, antara lain Makassar, Jakarta, Jawa Timur, Bekasi, Tangerang, Bima, Sumatera Utara, Sumatera Barat dan lain-lain. Yang di Jakarta seorang darinya sudah menyiapkan 3 buah bom aktif berdaya ledak besar.
Teror di Katedral yang tidak sampai merenggut nyawa jemaat kecuali melukai itu adalah berkat keberanian security gereja itu. Kecuali korban tewas berupa bagian-bagian dari tubuh suami-isteri pembom bunuh diri itu yang terpisah-pisah. Sebagian dari tubuh keduanya sudah jadi makanan anjing atau kucing dan semut di situ.
Mulai dari Presiden Jokowi, DPR-RI, Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah dan lain-lain sampaipun Kedubes Amerika Serikat, semua mengutuk teror itu.
Tetapi peristiwa itu merupakan 'kebobolan' aparat setempat. Sekurang-kurangnya di kalangan inteliljens-nya. Memang tidak bisa dinyana suami-isteri yang baru menikah 6 bulan lalu itu karena kebodohannya mendapatkan indoktrinasi kelompok JAD untuk menjadi pelaksana bom bunuh diri.
Jadi sekarang ditantang pernyataan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Komjen Pol Boy Rafli, yang katanya secara proporsional mengikut sertakan TNI dalam pemberantasan terorisme.
Jadi bakal lengkap, yakni unsur BNPT, Densus 88, BIN, TNI dan lain-lain Kesatuan. Malahan kalau dimungkinkan, bentuk para Jaksa dan Hakim yang khusus mengadili terorisme.. Malahan kalau mungkin bangun penjara khusus teroris seperti Amerika Serikat punya penjara di Guantanamo, Panama.
Dulu, indoktrinasi kelompok teroris itu dengan melalui agama Islam yang disalahgunakan, menyatakan bahwa perbuatannya adalah jihad dan arwahnya masuk surga serta dijemput oleh para bidadari.