Barangkali pesan macam itu perlu dipegang oleh para pimpinan dalam pemerintahan kita. Masalahnya, bagaimana berusaha mengurangi penularan covid-19 dengan peraturan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PPSB) sampai dengan berganti menjadi Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) mulai 6 Januari lalu. Mungkin masih ada perubahan istilah lainnya, sehingga bertambah banyak kata-kata singkatan (akronim) lainnya.
Ternyata, bentuk perubahan peraturan atau pelaksanaan serta perubahan istilah yang bertujuan untuk mengurangi (bila mungkin menghentikan) penularan/infeksi covid-19, dianggap oleh Presiden Joko Widodo (31/1) berdasar dari data di Jawa dan Bali, ternyata hasilnya tidak efektif. Dalam rapat terbatas yang berkaitan dengan pandemi covid-19 di Kabinetnya, dengan nada kurang gembira Presiden menyatakan kekecewaannya karena penanganannya tidak tegas dan tidak konsisten.
Kekecewaan bercampur kemarahan itu bisa difahami, karena terhitung sejak Januari lalu, angka penderita covid-19 sampaipun yang meninggal sebagai tertinggi dibanding di negara-negara Asia. Malahan angkanya melebihi India. Negara berpenduduk terbesar kedua di dunia dan semula jumlah penderita dan meninggal terbanyak di Asia.
Solusi untuk menekan penularan virus itu kini dipercayakan oleh pemerintah melalui vaksinasi menguatkan daya tahan tubuh terhadap infeksi virus itu. Disamping kepatuhan (disiplin) masyarakat menjalankan protokol kesehatan/prokes (memakai masker, menjaga jarak, membasuh tangan dengan sabun/disinfektan di air mengalir).
Kenyataannya, sampai dengan sekarang disiplin untuk mematuhinya masih sangat kurang. Menjadikan tindakan kucing-kucingan bagi para petugas yang mengawasi pelaksanaannya. Baru wajib mengenakan masker saja bagi pejalan kaki dan naik kendaraan apa saja, banyak yang tidak mematuhinya. Sampaipun dikenakan denda pelanggarannya, ternyata masih banyak memilih membayar denda daripada mengenakan masker. Termasuk yang dihukum wajib berjaket merah bertuliskan sebagai pelanggar peraturan dan harus membersihkan menyapu jalanan umum, masih ada yang memilih menjalani tindakan bertujuan memalukan pelakunya itu.
Memang susah menghadapi anggota masyarakat yang berbodoh diri untuk berdisiplin. Kalau memang bodoh, masih bisa dididik. Tapi berbodoh diri memang ciri pribadi mereka. Termasuk sombong tidak bakal disinggahi virus covid-19. Mereka yang tidak mematuhi prokes meski sudah paham benar maksud dan tujuannya, mereka itulah yang memang sulit diurusi.
Kalau Presiden kecewa PPKM tidak maksimal dampaknya mengurangi penyebaran covid-19 disebabkan kurangnya ketegasan dan konsistensi, tentunya kritik tersebut diarahkan kepada para pimpinan dan aparat pimpinan di Pemerintahan Daerah setempat. Bukan salah dia yang menerapkan perubahan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) menjadi Pelaksanaan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) yang bersifat agak longgar dalam pembatasan kegiatan masyarakat,
Kelonggaran aturan PPKM dengan syarat mematuhi protokol-kesehatan ternyata masih banyak yang tidak mematuhinya. Kalau diadakan sweeping oleh petugas penertiban, baru terburu-buru melaksanakan prokes atau bersikap masabodo. Coba tanyai secara serius, mengapa mengabaikan prokes.
Pasti ada jenis-jenis jawaban atas dasar kepribadiannya, yakni: lupa bermasker; merasa kebal/tak bakal tertular covid-19; sudah kebiasaan bergerombol dan ngrumpi; karena mencari rejeki berjualan; bosan dan sesak nafas pakai masker; atau tak peduli dengan aturan tersebut.
Hukuman denda/berperilaku sosial tidak menjadikannya gentar atau jera. Mungkin sesekali mereka dinaikkan truk, disuruh bayar harga resmi masker untuk dipakainya, lalu dibawa ke makam penderita covid-19. Suruh berdoa atau merenung 15 menit saja guna membayangkan bagaimana derita keluarga para jenazah korban virus tersebut.