DINI HARI itu pesawat Ilyushin perusahaan negara penerbangan Uni Soviet (saat itu) yang bertolak dari Singapura dan transit di Mumbai (Bombay) setelah kira-kira lebih dari kira-kia sepuluh jam dalam penerbangan malam hari, mendarat di Bandara Internasional Sheremetyewo. Moskwa.
Badan serasa kaku dan lesu dalam pesawat yang padat penumpang terdiri dari orang-orang Rusia dari tugas kerja di luar negerinya. Udara masih gelap. Justru di dalam terminal kedatangan, penerangan ruangannya remang-remang karena minimnya lampu-lampu yang dinyalakan. Saya mengikuti rombongan penumpang luarnegeri yang harus memasuki ruangan yang ada meja-mejanya tanpa kursi, untuk mengisi daftar laporan keuangan. Berapa duit asing yang anda bawa.
Kalau kelak keluar Uni Soviet ketahuan petugas dan harus menghitung kembali duit yang dibawanya berikut catatan jumlah uang sewaktu datang itu dan berbeda banyak, sudah pasti jadi urusan pidana politik: kemana atau kepada siapa uang yang dibawanya itu diberikan? Kalau ditukarkan dengan uang rubel-rusia atau untuk beli ini itu, mana bukti atau bonnya? Lalu dicurigai duit yang dibawanya diberikan kepada orang-orang yang menjadi musuh pemerintah. Atau sekurang-kurang ditukarkan melalui pasar-gelap.
Untungnya urusan aturan itu tidak berpanjang-panjang lagi, karena dijemput oleh petugas dari KBRI kita, tetapi harus menginap di flat kompleks Kedubes Korea Utara, Jl. Mosfilmovskaya Moskwa, beberapa kilometer tenggara pusat kota, Kremlin.
Tiga hari harus berada disitu bersama rombongan, dua orang dari Departemen Penerangan dan dua wartawan muda dari LKBN Antara dan harian Berita Yudha (milik Hankam) usai beberapa waktu sebelumnya diajak berbincang dengan Badan Kordinasi Intelijen Nasional (Bakin). Saya sendiri yang kemudian dijadikan wakil dan sekaligus "jurubicara" rombongan itu yang satu-satunya dari suratkabar swasta Sinar Harapan dipilih sendiri oleh Menteri Penerangan Harmoko, memenuhi undangan pemerintah Korea Utara pada era peralihan dari presiden Kim Il Sung kepada anaknya Kim Jong Il tahun 1994.
Tiga hari menginap itu menunggu adanya penerbangan dari Moskwa ke Pyongyang, ibu kota Korut. Maklum, negara yang dianggap "boneka Uni Sovyet" itu tidak boleh memiliki armada penerbangan nasinal, apalagi internasional. Harus dilayani oleh Aeroflot. Lagi pula, seminggunya hanya satu kali saja pesawat Ilyushin Aeroflot ke Korut.
Pesawat Ilyushin ukuran sedang itu penuh sesak penumpang. Jangankan di udara, perjalanan dari terminal bandara Shirimetyewo ke pesawat memangkal yang cukup jauh, harus naik satu-satunya bus yang penuh sesak, sehingga kami orang-orang Indonesia itu semua harus berdiri berdesakan. Tak ada saling tegur-sapa dengan orang-orang Russia atau beberapa orang Korea Utara dalam bus itu. Tak ada sopan-santun.
Esok pagi-pagi sekali pesawat mendarat di bandara internasional Sunan, Pyongyang. Kami sudah dijemput dua orang memakai stelan berjas hitam berdasi merah tua, yang selalu dikenakan selama kami di Korut.
Langsung dinaikkan dua mobil sedan hitam Volvo dan dibawa ke hotel, entah apa namanya karena bertuliskan huruf Korea. Bisa dikata, karena kami curiga kedua lelaki itu,-- salah seorangnya fasih berbahasa Inggeris dan selalu berkomentar yang tidak lupa menyebut nama "pemimpin besar kami" Kim Il Sung, sedangkan yang satunya cuma mengangguk-angguk,-- sebenarnya anggota intelijen Korut .
Hotel itu Cuma tempat kami menginap dan makan, setengahnya sebagai "penjara". Sekali saya pernah keluar pintunya dan berjalan-jalan di taman halaman hotel, barangkali bisa ketemu warga Pyongyang untuk dapat diajak berdialog gaya tarzan. Tetapi buru-buru salah seorang pendamping kami itu mendekati saya dan menyilakan untuk masuk hotel. "Berbahaya diluar" katanya.