Lihat ke Halaman Asli

Amak Syariffudin

Hanya Sekedar Opini Belaka.

Empat Babak Berdarah Jelang Hari Pahlawan (Bagian Kedua)

Diperbarui: 18 Oktober 2020   18:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pemberontakan di Surabaya sebagai reaksi ultimatum Brigjen. Mallaby dari tentara Inggris pada tanggal 10 November 1945 (Dok. Kompas)

Kita Harus Punya Senjata. Para pimpinan pemerintahan Surabaya dan BKR dipimpin Sungkono (kelak Kolonel, Pangdam Brawijaya yang pertama), dr. Mustopo, Muhammad (pimpinan Polisi Istimewa/ Brimob), Jonosewoyo (kelak Jenderal) dan Angkatan Lautnya dipimpin Atmadji, mulai memikirkan: apa kekuatan bersenjata RI di Surabaya? 

Ada informasi dan gejala kuat, karena sesuai perjanjian kalah perang, Jepang hanya akan menyerahkan seluruh persenjataannya pada Sekutu. 

Sementara pasukan Sekutu yang naik beberapa kapal perang menuju Surabaya dari Singapura ternyata disusupi pasukan dan pimpinan Belanda guna mempersiapkan pemerintahan kembali di Indonesia (1946 diresmikan operasional NICA/Netherlands Indies Civil Administration). Jadi, keputusan para pejuang kita: rebut senjata Jepang!

Diawali bentrokan-bentrokan kecil lawan serdadu Jepang di markas-markas kecil mereka dan dijalanan, akhirnya 1 Oktober 1945, meledaklah kemarahan pimpinan kita bersama ribuan rakyat Surabaya. 

Melalui seruan bergelora di radio (namanya ganti jadi RRI) berbondong-bondong bersenjatakan apa saja, menyerbu beberapa markas atau tempat konsentrasi militer Jepang hingga menjelang malam. Semalaman dipenuhi ketegangan dan kesiagaan. 2 Oktober 1945 pagi, dipimpin pasukan BKR dikepunglah markas-markas utama militer Jepang. 

Arah belakang rumah saya di Jalan Juwingan (usai mengungsi rumah besar dengan halaman seluas lk. 1,5 hektar harus dijual, karena keluarga menjadi tidak beruang dan lokasi itu  dijadikan gedung olahraga bulutangkis dan perkantoran) berada markas pool kendaraan militer Jepang di Gubeng Trowongan (kini menjadi kawasan pemukiman, pertokoan, perhotelan, restaurant dan lain-lain berganti nama Gubeng Kertajaya/Jalan Kertajaya Indah) yang berada di Jl. Nias dan ujung timur Jl. Sulawesi dan gerbangnya diterowongan viaduct kereta api.. 

Saya ikut Alimun, kakak ipar yang saya ceritakan pada Bab 1,  yang memimpin beberapa pemuda ikut mengepung markas tersebut. Tidak lama menyerah dan kendaraan-kendaraan militernya dirampas BKR dan yang non militer oleh rakyat. Kami merampas pickup Dodge keluaran 1930-an yang masih kukuh plus BBM satu drum. 

Usai makan siang tergopoh-gopoh berangkat oleh seruan siaran radio, bahwa BKR dan massa sedang mengepung dan bertempur dengan tentara Jepang di markas-markas Jepang. Paling seru pertempuran merebut markas Kenpetai digedung bekas Soerabayasche Landraad (Pengadilan Negeri Surabaya) di Kebonrojo depan Kantor Gubernuran (kini lokasi Tugu Pahlawan). 

Pengepungan markas besar Kaigun (AL) Jalan Embong Wungu, dan pertempuran seru perebutan markas Marinir (Kaigun Tokubetsu) di Gubeng (kini lokasi City Mall) serta beberapa  markas kecil lainnya. Ketika kami dengan Dodge tua itu di Palmenlaan (kini Jl. Jenderal Sudirman) menuju markas Kaigun di Jl. Embong Wungu (sekarang Kantor PLN), ternyata Laksamana Shibata sudah menyerah. Panglima Kaigun wilayah timur di Surabaya itu memahami tidak mungkin melawan kekuatan massa. 

Ketika diinterogasi Sekutu (1946) di Singapura menyatakan: "pada 1 Oktober 1945, penduduk Surabaya berubah jadi rusuh, dan mereka menculik orang-orang Jepang dan merampas persenjataan dan kendaraan. Pada 2 Oktober 1945, markas besar kami dikepung perusuh, jumlahnya 700 orang bersenjatakan sebuiah tank, senapan-senapan mesin berat, tombak dan pedang..."   

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline