Kalau tak salah, sudah tiga bulan lalu Presiden memutuskan memberi insentif Rp.15 juta/bulan bagi para dokter yang menangani kasus pandemi covid-19. Jadi, ketika Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Jawa Timur pada 2 Juli lalu menyatakan, para dokter yang semestinya sudah terima insentif itu namun hingga saat itu belum juga menerimanya, kita bisa bertanya-tanya: dimana duit insentif itu "membeku" dan tidak lancar mengalir kepada yang bersangkutan? Kiranya pengurus IDI Jatim tidak sembarangan ngomong kalau memang kenyataannya begitu.
Baik Presiden maupun Menteri/Pejabat Tinggi pemerintahan berulang mengeluarkan ancaman bagi yang diketahui menyelewengkan/mengkorup termasuk duit insentif itu, bakal dijatuhi hukuman tegas. Sampaipun KPK diminta untuk mengamati mengalirnya dana penanganan pendemi itu yang jumlahnya puluhan/ratusan trilyun rupiah.
Memang sangat tidak bermoral ada orang yang tega-teganya menelan uang penyelewengan dana negara maupun bantuan dari sumbangan perusahaan ataupun perorangan guna menangani korban covid-19. Terutama pembiayaan pengobatan bagi korban covid-19 yang tidak sengaja terinfeksi. Sedangkan kalaulah penderita terinfeksi itu karena ulahnya sendiri, seperti orang-orang yang tidak berdisiplin melakukan protokol kesehatan, tidak jadi soal. Mereka ini tergolong yang merasa sakti dan berniat berani melawan covid-19.
Dana insentif untuk dokter dan tenaga paramedic itu didasarkan kebijakan pemerintah, karena tidak cukup mereka itu cuma menerima gelar "Pahlawan Kesehatan" namun ekonomi rumah tangganya jadi morat-marit.
Belum lagi ketegangan perasaan terus-menerus melanda keluarganya serta terganggunya kesejahteraan rumah tangganya karena takut tertular dan menularkan virus itu. Masing-masingnya bisa dianggap menyabung nyawa akibat berhubungan langsung dengan pasien covid-19.
Di Indonesia sudah 32 dokter sudah wafat terinfeksi, termasuk di Jatim 5 dokter spesialis . Lebih 150 tenaga paramedic juga terinfeksi dan lebih dari 15 di Jatim yang meninggal.
Sementara provinsi Jatim dinyatakan menyimpan pengidap terinfeksi covid-19 terbanyak (lebih dari 12.500 orang) dan kota Surabaya sebagai epicentrumnya, saya mendengar selentingan kisah-kisah (yang bukan hoax) bahwa ada para karyawan yang mengurusi dana bantuan itu dikantor pemerintahan provinsi Jatim, dicurigai oleh sesama rekan pegawai lain yang bukan dibidang urusan keuangan tersebut. Mereka mendadak pada beli sepeda motor baru dan malahan ada yang beli mobil.
Syukurlah kalau memang duitnya kini agak berlebih dari biasanya, sehingga beli barang-barang baru itu. Karena tujuan bekerja tentunya untuk kemakmuran diri dan keluarganya. Tetapi lirikan itu ada yang mengait-kaitkan dengan bocornya dana bantuan untuk penanganan pandemic covid-19. Orang-orang pemberi informasi itu mengistilahkan, para karyawan itu kini "bagaikan bermandikan uang".
Benar-tidaknya, coba diintrospeksi tentang keberadaan, bahwa disetiap pemerintahan daerah mempunyai instansi yang disebut Inspektorat. Di Pusat ada Inspektorat Jenderal. Instansi ini sebagai pengawas pelaksanaan pemerintahan dan tingkah-laku pegawai-sipil di kantor pemerintahan setempat. Tapi banyak yang meragukan peranan serta ketegasannya kalau urusannya menyangkut keuangan, atau kemauan atasan ataupun 'konco-dewe'. Ataukah dana bantuan itu masih berpusing-pusing di Pusat, sehingga termasuk yang dimarahi oleh Presiden Jokowi itu?