Lihat ke Halaman Asli

Perbincangan Pagi Hari

Diperbarui: 24 Juni 2015   03:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Mereka berdua duduk berdampingan di atas kursi bercat coklat tua, menghadap ke arah gunung Semeru. Sesekali salah satunya menyeruput kopi hangat yang baru ia racik beberapa menit yang lalu. Kabut tipis sesekali melintas di depan kedua insan itu. Menyaksikan mereka yang tengah sibuk dengan suara kalbu masing-masing. Mereka hanya diam. Bahkan belum ada sepatah katapun yang terlontar dari bibir mereka walaupun sudah hampir setengah jam mereka duduk disitu. Hampir setengah jam pula mereka sibuk dengan pikiran dan hati masing-masing.

“As, kemarin aku ketemu sama dia”. Rangga akhirnya membuka perbincangan.

“Siapa? Naya?” Astira merapatkan jaketnya. Tangannya masih menggenggam kopian proposal kegiatan Malam Keakraban mahasiswa baru Ilmu Politik yang baru berjalan satu hari.

“Iya”.

“Terus gimana? Udah bilang kalau kamu suka sama dia?”

“Belum. Rasanya, kok, sulit banget ya buat sekedar mangatakan hal itu. Aku sampek heran sendiri”.

Astira medengus kecil. Ia agaknya sudah malas mendengar kalimat itu berkali-kali. Benar-benar menunjukkan bahwa Rangga – sahabatnya- ingin menyiksa perasaannya sendiri.

“Mau sampai kapan kamu mau jadi kambing congek kayak gini? Sampai Naya udah direbut orang? Ha?”

“Masalahnya –“ Rangga memenggal kalimatnya “Ada hal yang membuat aku ragu menyatakan perasaanku”

“Ragu ? Ragu kenapa? Apa kamu mau terus-terusan memendam rasa nggak jelas kayak gini? Wake up, men! Kamu cowok. Seharusnya kamu bersyukur, karena dengan status dan kodrat kamu sebagai lelaki, kamu bisa dengan leluasa menyatakan perasaanmu”.

“Menyatakan perasaan nggak segampang yang kamu bayangin, As. Perlu pertimbangan”

“Pertimbangan apa lagi? Kalau kamu sudah jelas suka sama dia, seharusnya kamu cepat katakan yang sebenarnya”.

Rangga terhenyak. “Ih, maksa banget ni anak”

Kemudian suasana menjadi kembali hening seperti semula. Balkon lantai dua sebuah vila sederhana seakan tak sabar menanti babak baru perbincangan mereka berdua.

“Kamu beruntung, Ngga. Kamu bisa deketin Nay. Sedangkan aku? Aku cewek. Justru karena status itulah yang buat aku gengsi menyatakan perasaan. Jangankan menyatakan perasaan, ndeketin aja aku nggak punya nyali”

“Terkadang ada saatnya seseorang nggak perlu mengungkapkan perasaannya, As”. Ujar Rangga singkat. Ia enggan menanggapi perkataan Astira yang entah mengapa kembali memunculkan keraguan dalam hatinya.

Hening.

Iya. Dan aku sangat bersyukur bisa bertahan dalam hari-hari seseorang yang aku sukai tanpa harus bersusah paya mendekatinya, atau mengungkapkan perasaan ini padanya. Setidaknya untuk kali ini. Seperti saat ini. Batin Astira. Kedua matanya masih tetap tertuju pada puncak Semeru.

Rangga menyeruput pelan kopi hitam hangat yang sisa separuh cangkir.

“Aku punya alasan tersendiri, As”

Astira tertegun. Matanya kontan tak punya nyali untuk menatap sahabatnya. Entah sejak kapan hal ini terjadi berulang kali ketika ia tiba-tiba dirundung rasa kikuk yang terkadang sedikit membatasi ruang geraknya dengan Rangga. Ia tetap menatap puncak Semeru, tanpa berani menatap sahabatnya.

“Alasan? Alasan.... apa?” Tanya Astira. Ragu.

Rangga tak menjawab. Sama dengan Astira, ia pun tiba-tiba tak punya cukup nyali untuk menangkap ekspresi Asitra, bahkan dengan ekor matanya sekalipun.

“Aku mohon, jangan tanya apa alasannya, yang pasti aku nggak mau ada yang tersakiti disini”

“Tersakiti?” Astira tertawa kecil. “Yaelah,, palingan ya kamu yang tersakiti. Tersakiti karena kelamaan speechless. Siapa lagi kalau bukan kamu, Ngga”

“Kamu”

Kedua mata Astira sekonyong-konyong nanar. Ia terhenyak. Kedua bibirnya terkunci rapat-rapat. Sebongkah batu seolah menghujam jantungnya hingga terasa sakit sekali.

Rangga bangkit dari duduknya dan pamit pergi untuk kumpul bareng panitia makrab yang lain. Ia sendiri bahkan masih tak tahu kenapa ia ragu. Ragu untuk menyatakan perasaannya pada Naya. Apalagi kemarin sore dia menemukan sebuah catatan kecil dari ransel Astira yang tak sengaja ia baca.

Apakah kau pernah merasakan hal rumit yang sebelumnya tak permah kau bayangkan akan terjadi? Yakni menyukai sahabatmu sendiri, seperti aku yang menyukai Rangga. Begitulah kalimat itu tertulis rapi diatas kertas kuning yang mulai kusut. Tertanggal 23 Januari 2012. Setahun yang lalu.

Tulisan yang semakin memperkuat dugaan Rangga selama ini.

Astira tak bergeming. Dadanya mulai sesak. Pemandangan indah pagi hari yang telah tersuguh didepannya secara cuma-cuma, seolah berangsur kabur dari lensa matanya. Sebutir air mata mengalir pelan meninggalkan pelupuknya. Astira tahu ia salah. Astira tahu seharusnya perasaan ini tak pernah ada, walaupun sebelumnya ia tak pernah sekalipun meminta. Bila boleh meminta pun, Astira ingin perbincangan tadi tak pernah terjadi.

Hari berikutnya, agenda perbincangan pagi hari di balkon lantai dua yang semula mereka rancang baik-baik, tak pernah terulang lagi hingga acara malam keakraban usai. Balkon lantai dua, kursi coklat, dan gunung Semeru tak lagi dapat menguping perbincangan pagi hari mereka berdua.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline