Kamuflase Paling Laknat

Senyum hanyalah kamuflase paling laknat dari seberat-seberatnya khianat lantas penat yang mendiami kepala. Meski panah verbalmu meluluhlantahkan hati para kekasih aksaramu namun di antara dinding-dinding kamar yang bisu, puisiku mendapatimu tengah bermuram durja memapah hati yang kian duka.

Mengapa tak merekatkan lagi jemari dan memunggut sisa-sisa ikhitar yang sempat tercerai berai ??? Mengapa tak meminjam lagi bahu untuk rebah letih hati selepas dididik prahara khianat ??? Masihkah ego dan citra diri membuat dikotomi antara hati dan isi kepala ??? Lantas mati rasa dan hilang empati ???

Apa kau tidak Gusar sendiri menggendong penat dikepala ??? Apa kau juga tidak rindu, melewati malam panjang paling sepih tanpa pelukan ??? Hay !!! Aku dan jarak menertawakanmu karena ketidakpekaanmu terhadap hati yang memperjuangkan dalam bentangan jarak. Begitu dekat namun tak sempat menjamah raga.

Kelak jika semuanya SELESAI, katakan pada Tuhan bahwa kita berhenti mengekspose kemesraan yang kemarin sempat membuatnya cemburu.