"Bagaimana pun, memilihlah. Jika kamu mendapatkan pasangan hidup (pemimpin) yang baik, kamu akan memetik kebahagiaan; namun jika kamu mendapatkan pasangan hidup (pemimpin) yang buruk, kamu akan menjadi seorang filsuf"
Pergumulan demokrasi lokal, termasuk demokrasi lokal di era desentralisasi seringkali berarti perjuangan untuk merebut kembali kedaulatan rakyat yang dirampas elit lewat proses-proses dan institusi-institusi yang seakan-akan demokratis. Perjuangan demokrasi itu sekaligus upaya politik dan epistemik yakni menghentikan hegomoni yang bekerja lewat pengetahuan dan relasi kuasa dominasi; dan mewujudkannya lewat pengetahuan kritis dan tindakan politis. Sebuah tata politik, ekonomi, dan budaya transformatif dimana solidaritas, keadilan, kesejahteraan umum menjadi proses sekaligus tujuan prioritas. Hal ini berarti pergumulan demokrasi lokal adalah sebuah gerakan emansipasi.
Pemilihan kepala desa (Pilkades) sebagai bagian dari pergumulan demokrasi lokal merupakan momentum paling mulia bagi masyarakat desa untuk memilih figure pemimpin yang diharapkan mampu mendedikasikan diri untuk mengurus hajat hidup banyak orang secara totalitas.
Pilihan politik yang dimaksud tentu lahir dan berangkat dari pertimbangan- pertimbangan objektif dan pengalaman faktual masyarakat desa dalam mengikuti irama perjalanan penyelenggaraan pemerintahan desa beberapa dekade sebelumnya. Hal ini menjadi penting, mengingat demokrasi secara prosedural menyoroti dua aspek utama yang sering diletakkan dalam setiap diskursus seputar demokrasi yakni kesetaraan politik masyarakat dan gagasan pemerintahan yang baik.
Kesetaraan politik dalam kaitannya dengan argumentasi ini tidak hanya sebatas kesamaan kesempatan dan ruang ekspresi pilihan politik pada hajatan pemilihan kepala desa saja tetapi bagaimana setiap masyarakat desa mendapatkan perlindungan politik sebagai mekanisme utama yang dikembangkan negara demokratik.
Sehingga demokrasi desa mendorong terjadinya proses politik yang kelak membawa masyarakat desa menuju keadaban politik dengan mengawal setiap putusan-putusan politik yang penting untuk dilakukan pemerintah desa. Masyarakat desa sebagai prinsipal negara dalam kaca mata demokrasi juga berkewajiban mendorong tumbuhnya suasana politik desa yang semakin baik sementara pemerintah desa mengalokasikan perhatian politik yang lebih besar kepada masyarakat desa ketimbang mengurus kepentingan-kepentingan spasial semata. Hal ini mau menegaskan kembali, bahwa substansi dasar refleksi dan aksi politik desa adalah kepentingan publik dan atau hajat hidup masyarakat desa.
Konstestasi pemilihan Kepala Desa (Pilkades) serentak di 16 Oktober 2021 mendatang sudah menabuh gaduh genderang perang gagasan di sudut-sudut desa lewat pemaparan visi, misi, program kerja dan strategi jika kelak diberikan amanah memimpin penyelenggaraan pemerintahan desa yang dilakukan oleh para calon. Ramai mendiami rumah-rumah telinga.
Di Kabupaten Flores Timur, NTT ada 118 desa yang menyelenggarakan hajatan demokrasi prosedural enam tahunan di wilayah administrasinya masing-masing. Figure-figure dari kalangan muda pun mulai bermunculan, tak kalah juga golongan tua yang masih terbilang produktif. Pemaparan visi, misi, program kerja dan juga strategi disatu sisi sebagai petunjuk kepada masyarakat dalam memilih tapi dilain sisi sebagai alat hegomoni untuk mendulang simpati.
Masyarakat desa yang masuk dalam kategori pemilih tradisional pun dituntut untuk mengantongi indikator dalam memberikan pilihan politik kepada salah satu figure yang diyakini paham mekanisme dan sistem kerja desa serta mengantong stigma bahwa anggaran dana desa (ADD) dan dana desa (DD) adalah uang masyarakat. Pemerintah desa hanya diberi tugas untuk mengaturnya sebaik mungkin untuk kebaikan hidup banyak orang.
Memilih kepala desa adalah memilih pemimpin, satu kali untuk enam tahun masa bakti. Oleh sebab itu, pemilihan kepala desa tak ubahnya jatuh cinta dengan salah satu figure serta memilihnya menjadi pasangan hidup dan "Bagaimana pun, memilihlah. Jika kamu mendapatkan pasangan hidup (pemimpin) yang baik,kamu akan memetik kebahagiaan; namun jika kamu mendapatkan pasangan hidup (pemimpin) yang buruk, kamu akan menjadi seorang filsuf". Begitu pesan Socrates, filsuf Yunani ketika bicara soal pernikahan yang mungkin korehen dengan Pilkades sebagai ritual sacral dalam memilih.