Lihat ke Halaman Asli

Kristoforus Arakian

Perempuan Cerdas itu Sexi

"DIA" Tuan yang Cemburu

Diperbarui: 12 Oktober 2021   08:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

tirto.id

Sebaik-baiknya hati sekalipun, ia tidak akan bertahan pada cinta yang pada akhirnya mengancam kewarasannya, begitu yang ditulis salah satu pemilik akun maya. Pemikirannya cukup ekstrim memantik ribuan mata singgah di beranda postingannya dengan beragam ekspresi tanggapan. Entah apa makna yang dipetik masing-masing kepala pun tergantung isi kepala melakukan interpretasi makna terhadap suatu informasi yang disampaikan penulis kepada pembaca melalui via genggaman. 

Hal ini menegaskan kembali pernyataan "pengarang sudah mati, atau matinya pengarang. Gagasan yang pertama kali dilontarkan oleh Roland Barthes pada 1968 ini kemudian menjadi sangat populer di kalangan penulis khususnya, dan juga di kalangan para pemerhati kebudayaan pada umumnya,tak terkecuali di Indonesia. Meskipun sangat populer dan terdengar sederhana, gagasan ini kemudian sangat sering disalahpahami.

Konsep "matinya pengarang" tidak dipahami semata-mata soal akses, karena akses langsung ke pengarang/penulis sudah semakin sulit atau bahkan mustahil dilakukan (entah karena jarak seperti yang disebutkan di atas atau karena penulis memang sudah tiada), tapi substansi yang hendak disampaikan dan dipertegas Roland Barthes disini adalah bahwa pembacalah kini yang “berkuasa” dalam penafsiran atas teks (baca: karya) yang dibacanya. Pemahaman semacam ini jelas suatu penyederhanaan atau kesalahpahaman terhadap salah satu konsep kunci kaum Pascastrukturalis yang begitu berpengaruh dalam kritik sastra dan budaya dewasa ini. Dalam pemahaman itu tersirat anggapan bahwa sebenarnya pengarang masih merupakan sosok sentral dalam tindak penafsiran karya. Kebebasan atau keleluasaan pembaca dalam menafsirkan suatu karya hanya muncul karena ketidakhadiran Pengarang.

Jika Pengarang bisa menghadirkan diri lagi meski “hanya” lewat dunia maya, yakni media sosial di Internet maka praktik kebebasan atau keleluasaan pembaca dalam menafsirkan suatu karya bisa dibilang pupus. Pernyataan implikasi sederhananya dari pupusnya suatu karya adalah : Apa yang luput dari pemahaman tentang "matinya pengarang" seperti teruraikan di atas adalah penekanan pada karya (teks) itu sendiri. Ketika pemikiran Barthes yang kemudian dikembangkan oleh para pemikir pascastrukturalis yang lain menyatakan bahwa “lahirnya pembaca harus dengan mengorbankan "matinya pengarang”, apa yang dimaksudkannya adalah bahwa praktik menafsirkan sebuah teks/karya (yakni tindak pembacaan) hanya mungkin dilakukan dengan bebas jika tidak ada lagi otoritas pusat yang mengklaim sebagai suara tunggal yang menentukan salah-benarnya suatu tafsiran.

Penekanan pada teks ini juga berarti bahwa, ketika sebuah karya selesai ditulis dan Sang pengarang memutuskan untuk menerbitkannya, maka pada saat itulah dia “mati”. Posisinya segera berubah menjadi pembaca, yang hasil pembacaannya tidak otomatis lebih sahih dibanding hasil pembacaan pembaca-pembaca yang lain.

Dalam konteks pemberian wewenang pengarang kepada pembaca sebagai subjek jamak pemegang otoritas makna terhadap suatu karya (teks) kadang membuka ruang disparitas nilai yang cukup tajam. Ini merupakan sebuah konsekuensi paling logis namun sangat-sangat ironis. Hal ini disebabkan karena isi kepala masing-masing pembaca dalam merepresentasi suatu karya sangat mempengaruhi pembaca menaruh makna dengan kadar subjektifitas yang sangat kental. Lalu siapa yang mesti disalahkan dalam proses analisa konten pada konteks ini ???  memang benar bahwa setiap karya mendeskripsikan karakteristik pengarang beserta empirisme sosialnya dan ekspresi emosionalnya masing-masing, namun makna yang disuguhkan pembaca juga mendeskripsikan serta mencerminkan isi kepala pembaca itu sendiri. Ketika suatu karya yang di sodorkan pengarang mampu menghegomoni pola pikir, emosional dan berlanjut pada pembentukan karaktek (etika) pembaca ketika nilai yang ditransformasikan melalui karya tersebut bersinggungan dengan psikologi pembaca dan kognisi nilai yang di pandang perlu untuk bekal sosial bagi pembaca. Hal demikian akan memberi stimulus hingga melahirkan respon kritis yang bisa saja menitipkan penat di kepala-kepala pemilik tulisan.

Hal ini cendrung kita temui dalam aktifitas maya, dimana banyak sekali kumpulan orang-orang kurang waras dalam menginterpretasi makna suatu karya (teks) pemilik tulisan bahkan tindakan moral manusia lain. Sebenarnya hal demikian lumrah ada dalam setiap aktifitas sosial namun jika pada akhirnya respon kritik yang di sodorkan ke publick menyerang privasi manusia lain karena desakan emosional maka jangan salah ketika ada konklusi bahwa respon kritis tersebut di anggap tidak dipandu akal sehat oleh sebab sentimen personal. Ini yang bahaya, bisa mabuk dunia maya. Mungkin saja saling klaim dan justis bisa saja ramai memenuhi kolom komentar lebih hebat dari perang opini saat BLT DDes dan BST lama sampai ditangan masyarakat sebagai penerima manfaat. Ekpresi emosional paling kalut hingga berujung caki maki dan sumpah serapah.

Lalu dimana Soliditas ??? Kita yang sedari awal disatukan kata malah pada akhirnya mati dihantam kata, lantas malu menampar wajah.

Dia tuan yang cemburu, aku bergumam dalam hati. Jangan biarkan mata kata-katamu pensiun meski perut sedang ditampar lapar, anak-anak cucu merenggek minta tagihan pendidikan milik kapitalisme licik dan lumbung-lumbung komoditi musiman dipermainkan di gelanggang pasar tak peduli jeripayah yang menampar dada dengan peluh dan rinai kelopak.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline