Kita pernah berada bersama melewati sepertiga malam menuju pagi.
Saya ingat betul, gurat wajah yang sayu itu, mata yang tersirat kalut itu
Bibir keruh paling keluh yang selalu melafas ragu itu berkali-kali memelas iba
"Kiranya harga diri yang kau serahkan sebagai mahar kasih sayang itu tidak menuai kecewa".
Saya mengerti betul bahwasanya seorang yang begitu dalam menyayangi,namun setia hatinya pernah dididik dengan khianat paling keji,
mengulang jatuh cinta adalah adalah diri yang hilang kenyakinan, ada jeruji yang terlanjur mengunci dari patah-patah beruntun
Hati dipaksa lebih legowo menerima kenyataan,
bahwa kemarin adalah pelajaran paling rumit yang membuat kita terbiasa, mahir memilah hati mana yang pantas diberi amanah merawat hati untuk tumbuh kembang bersama. lebih selektif memilah hati yang tidak sekedar datang melucuti sepih dari lebam wajah, atau sekedar menghapus nanar bersarang di pelupuk mata, namun lebih dari itu setia menjagamu hingga uban mendiami kepala.
Ikhtiar-ikhtiar itulah yang mengharuskanmu untuk tetap optimis menata hati agar lebih siap,
andai saja di suatu masa nanti kecewa datang menjenggukmu kembali, menagih pertanggungjawabanmu; kenapa begitu tegar ketika beberapa kali dididik dengan kecewa.
Ikhtiar-ikhtiar itulah yang memintamu untuk tidak lekas bergegas meninggalkan hati,
sebab sejauh ini engkau mesti akui bahwa "hatimu telah saya menangkan"
Masalah hendaklah tidak menjadi alasan untuk pergi. Namun,menjembatani kita untuk semakin merekat setia hingga engkau saya pinang tanpa mahar airmata, memohon dihadapan altar Tuhan
agar engkau menjadi rumah untuk segala rindu, lelah dan pulang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H