Lihat ke Halaman Asli

jois efendi

nice and unpredictable person

Aku Pintar Maka Aku Sekolah

Diperbarui: 23 Juli 2018   17:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

brilio.net

Bulan Juni-Juli, geliat pendidikan mulai kembali aktivitasnya.  Sekolah-sekolah  disibukkan dengan urusan penerimaan siswa baru, dan menjaring sebanyak mungkin siswa. Guru-guru mempersiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan dalam proses belajar mengajar sepanjang semester depan. Tanpa terkecuali, Orang tua mempersiapkan semua kebutuhan sekolah anaknya sedemikian rupa. Toko buku dan alat tulis, mulai yang offline dan online  dengan gencar membombardir konsumennya dengan iklan sekaligus diskon yang mengiurkan. 

Ditengah hiruk pikuk aktivitas pendidikan tersebut, tulisan ini mencoba untuk menyadarkan ada sesuatu yang perlu dipikirkan dengan kritis oleh semua elemen penyelenggara pendidikan di Indonesia. Ini bermula dari postingan salah satu teman di akun instagramnya, sebagai pemudi yang ternyata pemerhati pendidikan di Indonesia, ia mengutip pernyataan Sudarman BK dalam bukunya Binorrow: Tongkat Musa dan Tujuh Roh Boorne, "Jika tujuan sekolah untuk mencerdaskan, kenapa mereka hanya menerima murid yang pandai?" 

Selanjutnya, Teman saya ini mengajukan pertanyaan kepada saya, "Kenapa yang pintar yang boleh masuk sekolah, lalu yang bodoh gimana?" Saya awalnya tergelitik dengan pernyataan yang dikutipnya, lalu saya semakin tertarik dengan pertanyaan selanjutnya yang dia tanyakan. 

Saya mencoba memberikan pemahaman sebelum memberikan jawaban kepadanya. Saya awali dengan pembahasan pada terminologi kata "pintar" dan "bodoh", antonim kata ini memang erat dengan dunia pendidikan. Seringkali dunia pendidikan memberikan dua katagorial tingkatan siswa dari dua kata ini. Belum lagi mereka akan diidentikkan dengan pintar jika mereka menguasai salah satu pelajaran, misalnya matematika, sehingga setiap siswa yang tidak menguasai matematika akan masuk dalam katagorial sebaliknya, bodoh.

Pemberian label "Bodoh" dan "Pintar" yang kurang tepat dalam dunia pendidikan, namun seringkali masih menjadi standar oleh sebagian orang tua bahkan seorang guru sekalipun akan membawa dampak yang besar dalam diri seseorang yang belajar, guru yang mengajar dan sistem pendidikan itu sendiri.

Pembahasan kata "Bodoh" dan "Pintar" dalam artian yang sempit memang menunjukkan kualitas kemampuan seseorang dalam beberapa hal, baik itu penguasaan konsep atau ketrampilan tertentu. Saya secara pribadi tidak percaya ada orang bodoh, kecuali dengan sengaja dia mau disebut atau memang mau menjadi bodoh. Sebaliknya, orang yang pintar adalah proses yang lebih positif dari keberadaan manusia. Proses yang dimaksudkan disini adalah bagaimana, seseorang dengan segala proses yang dijalaninya, dia dapat mencapai sebuah tingkatan tertentu. Sekali lagi, tingkatan disini tidak menunjukkan bahwa jika dia dibawah rata-rata orang lain, maka dia masuk dalam katagorial bodoh. Singkatnya, semua orang dapat dikatakan pintar dalam bagian tertentu dan tidak dibagian yang lainnya, sekali lagi ini bukan berarti bahwa dia bodoh. Jika memang dia tidak mampu mencapai tingkatan terntentu dalam memahami konsep atau ketrampilan tertentu, berarti dia memang pintar dalam level itu. Tentu saja, dia akan memiliki pemahaman konsep atau ketrampilan tertentu lainnya yang memiliki tingkatannya diatas yang lainnya. 

Ada beberapa faktor untuk dapat menjadikan seseorang berhasil dalam pendidikannya. Sekali lagi bukan masalah bodoh atau pintar, namun bagaimana proses pendidikan dua arah yang dialami oleh orang tersebut. Maksud saya disini adalah pendidikan adalah interaksi antara guru dan murid. Bukan hanya proses transfer ilmu dari sang guru kepada muridnya, namun bagaimana sang guru dan murid menemukan potensi mereka masing-masing dalam perannya, yaitu sebagai guru dan murid. Seorang guru semestinya dapat memahami cara muridnya belajar dan bagaimana dia bisa mentransferkan ilmunya tersebut sesuai dengan pemahaman tersebut. Sebagai seoarang murid semestinya dapat menemukan potensi untuk belajar dan memahami gurunya. Saat seorang guru dan murid menemukan potensi mereka masing-masing, maka proses belajar ini akan menjadi lebih alami dan mengalami percepatan dalam proses pembelajaran yang dilakukan. (bersambung)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline