Lihat ke Halaman Asli

Miskin atau Kaya Itu Pilihan

Diperbarui: 26 Juni 2015   05:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Gajinya sih gede, tapi jaraknya jauh banget Pak, capek saya naik motor ke sana," jawaban itu yang diberikan oleh Nugra, kepada Pak Arif yang menanyakan keputusannya terkait lowongan kerja yang Pak Arif tawarkan. Jawaban yang cukup membuat Pak Arif kecewa.


Bukan sekali-dua Nugra mengeluhkan kondisi kerjanya di kantor yang sekarang. Gaji pas-pasan, tempat kerja yang jauh, belum lagi statusnya sebagai karyawan outsourcing yang bisa 'dikembalikan' sewaktu-waktu, tentu saja prospek karirnya pun tak jelas. Setelah menikah dan punya anak, hidup Nugra terasa lebih merana.


Itulah yang membuat Pak Arif tergerak untuk menawarkan pekerjaan padanya. Gaji lebih besar, status jelas, bahkan prospek karirnya tergambar jelas. Tapi jarak yang lebih jauh, walau kantor menyediakan bis jemputan di terminal Lebak Bulus, lebih dekat dari kantornya saat ini, Nugra tetap menolak.


Mental miskin. Itulah mungkin yang menjadi problem banyak orang di negeri ini. Selalu mengeluh, tapi tidak mau susah dalam menjalani solusi. Inginnya banyak orang bersimpati dan memberikan bantuan, tapi bantuan yang diberikan ditolak, karena menyusahkan.


Orang dengan mental seperti ini adalah orang yang inginnya serba instan. Bagi mereka kenikmatan dunia haruslah diberikan tanpa syarat dan kesulitan. Bila menganggur, inginnya bisa kaya karena menganggur, ending terburuk ia akan berjudi. Bila bekerja, inginnya bisa naik gaji tanpa harus naik jabatan dan tanggung jawab, ending terburuk ia akan korupsi.


Begitulah mental miskin di negeri ini, telah membudaya bahkan hingga lapisan masyarakat tingkat atas, kaya harta tapi mentalnya miskin. Akibatnya segala kekayaan itu tak pernah menentramkan jiwanya. Para pengusaha, 'membunuh' usaha lainnya agar tanpa saingan. Para pejabat, membuat aturan yang memperkaya diri dan keluarganya saja.


Jadi manakah yang lebih baik, hidup bergelimang harta tapi bermental miskin, atau hidup kurang harta tapi bermental kaya?


Tentu semua menginginkan hidup bergelimang harta dan bermental kaya. Tapi jalan ke sana pastinya tidak akan mudah. Karena itu, berhentilah mengeluh dan mulailah melakukan yang terbaik dalam setiap detik kehidupan selanjutnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline