Lihat ke Halaman Asli

Intelektual Organ(ik)

Diperbarui: 8 Agustus 2023   06:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dok. Pribadi

Matahari bersinar tak begitu terik.
Saatku tiba jam 11.25 lewat beberapa detik.
Kampus sepi ditinggal mahasiswa mudik.
Sebab sedang libur kalender akademik.

Lalu hujan turun rintik-rintik.
Ku duduk di pelataran masjid berlantaikan keramik.
Seorang kawan menyapa, ia kenakan baju batik.
Pakaian khas Indonesia yang diakui dunia sangat estetik.
Dengan beragam motifnya yang unik. 

"Kok masih ke kampus, ada agenda apa?," tanyanya, mengulik.
"Biasalah.." 
jawabku berbisik.
"Bimbingan skripsi ya," 
sautnya sambil cekikik.
"Lagi pengen main aja," 
ujarku spesifik.

Kami lanjut berbincang, menjaga pikiran agar selalu terpantik.
Sebab mahasiswa punya karakteristik:
Menghidupkan tradisi intelektual yang dialektik.
Istilah Gramsci, "Intelektual Organik",
Kalau kata Kuntowijoyo, "Intelektual Profetik".

Tanpa cemilan kripik,
Kami berbincang beragam topik;
dari soal politik,
Mistik,
Tanaman hidroponik,
Sampai tugas akhir yang belum lanjut diketik.

Tak seperti seorang pejabat-cum-narapidana yang kerap bilang "taik!"
Atau para elit yang bertikai saling mengadu delik.
Jika berbeda pandangan, kami saling berargumen dengan baik-baik.
Pokoknya, Asik!

Sedikit berbincang sepakbola, soal strategi-taktik.
Kecewa, klasemen tim favorit tak kunjung naik.
Ceritakan Chelsea yang permainannya juga kurang cantik.
Mengundang tawa menggelitik.

Lalu agak serius, menyinggung kondisi negara yang sedang paceklik.
Persoalan bukan hanya pemimpin yang tak karismatik,
Atau para pembantunya yang kapitalistik.
Tapi, ketidakmampuan menyelesaikan masalah secara holistik.
Itu, patut kita kritik!

Saat di rezim sekarang banyak orang tak berkutik.
Karena barangkali takut diculik.
Kita butuh media yang setia kode etik jurnalistik.
Lantang bersuara menjadi pilar demokrasi secara sistemik.

Tentu kita tak butuh komika yang mengaku agnostik.
Diciduk karena konsumsi barang haram lewat disuntik.
Pada istilah "toleransi" dan "open minded" ia berintrik.
Menghasilkan polarisasi masyarakat, yang kian menukik.

Dalam Teater perebutan kekuasaan yang kerap membuat jijik.
Masyarakat terkadang sekedar pernak-pernik.
Dimanfaatkan orang-orang yang seolah patriotik,
Ketika ditagih janji, mereka panik.
Rasanya ingin menghardik!

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline