Lihat ke Halaman Asli

Aly Reza

Hanya Bisa Menulis

Gugur Gunung Alam Raya

Diperbarui: 23 April 2020   14:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Brilio.net

Pandemi tidak selamanya tentang yang tidak kita inginkan. Tidak sepenuhnya yang berkait paut dengan wabah ini adalah segala sesuatu yang membuat manusia rugi di banyak sektor kehidupan. 

Sebagai sebaik-baik ciptaan, manusia terlalu egois jika menganggap dirinyalah subjek utama di semesta ini. Setiap gejala apa pun di alam raya selalu dihitung dengan kalkulasi untung-rugi atas dirinya sendiri. Seolah hidup adalah miliknya seutuhnya.

Hari ini tidak sedikit di antara kita tentu mengutuk Corona sebagai biang masalah bagi umat manusia. Jutaan orang meninggal, ekonomi dunia merosot, perusahaan di ambang bangkrut, aktivitas sosial hampir lumpuh total, dan kerugian-kerugian materiil yang tidak pernah kita bayangkan sebelumnya.

Tapi pernahkan kita sudi merenung barang sejenak? Bahwa sejatinya "bersama kesusahan pasti ada kabar baik yang lain."  Redaksi ayat dalam Q.S. al-Insyirah: 5-6 tersebut adalah "ma'a" yang artinya: "bersama", bukan "sesudah". Artinya, semestinya bersamaan dengan merebaknya wabah Corona ini, pastilah ada hal-hal baik yang turut serta bersamanya.

Hanya saja pandangan kita sedari awal sudah dialihkan dengan egoisme, sifat individualistis, dan kecenderungan manusia yang mengukur baik-buruk hidup dari parameter materialisme. Yang membuat dirinya untung dianggap baik, yang merugikan dianggap buruk. Padahal baik menurut manusia, belum tentu baik juga bagi alam, atau juga sebaliknya. Karena sejatinya dunia ini bekerja secara paradoksal.

Di tengah kegetiran umat manusia dalam meredam arus persebaran Covid-19 yang seolah tidak kenal belas kasihan ini, Science Alert (melansir dari Kompas) merilis gambar permukaan bumi (diambil 1 Januari hingga 11 Maret 2020) menunjukkan tanda-tanda penurunan nitrogen dioksida (emisi gas buang dari kendaraan dan asap industri) secara drastis sebagai imbas diberlakukannya karantina di sejumlah wilayah di berbagai negara.

Artinya, ada penurunan polusi udara yang selama ini membuat bumi 'susah bernafas'. Ini tentu menjadi kabar yang menggembirakan.

Menurut Marshall Burke (peneliti sumber daya lingkungan dari Standford University) polusi udara sejatinya jauh lebih mematikan ketimbang serangan makhluk mikroskopis bernama Corona.

Virus ini mungkin bisa membunuh jutaan orang dari seluruh dunia, tapi persentase yang bisa diselamatkan jauh lebih besar daripada polusi udara yang bahkan bisa menyebabkan kematian dini.

Sebagaimana umumnya wabah, Corona pasti akan berada pada titik puncaknya untuk kemudian lenyap. Dan itu artinya, kehidupan akan kembali berjalan normal. 

Namun berbeda kasus dengan kondisi lingkungan yang tercemar. Pabrik-pabrik beroperasi sepanjang waktu, kendaraan bermotor bergerak tak kenal hari. Bisa dikatakan setiap detik manusia telah mempersiapkan sendiri kematian bagi sesamnya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline