Lihat ke Halaman Asli

ALYA PUTRI ABI

Mahasiswa Jurnalistik Politeknik Negeri Jakarta

Flaxing Membuat Standar Kesempurnaan yang Tidak Realistis di Instagram

Diperbarui: 26 Juni 2024   00:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Instagram telah menjadi salah satu platform media sosial terbesar di dunia, dengan dua miliar pengguna aktif bulanan di seluruh dunia per awal 2024. Pengguna dapat berbagi momen kehidupan mereka dengan cepat dan visual, menciptakan gambaran yang seringkali glamor dan sempurna. Namun, di balik foto-foto yang diposting, terdapat fenomena yang semakin umum dikenal sebagai "flexing". Flexing merujuk pada praktik memamerkan untuk mendapatkan pengakuan atau pujian dari pengikut dan masyarakat online.

Kata flexing berasal dari "flex," yang menurut Merriam-Webster, bermakna menunjukkan atau mendemonstrasikan. Jika merujuk pada fenomena yang baru-baru ini terjadi, "flex" bermakna memamerkan kekayaan. Ini sering kali melibatkan foto-foto yang diambil dengan hati-hati, menunjukkan barang-barang mewah, perjalanan eksotis, atau pencapaian yang luar biasa. Tujuannya adalah untuk memberikan kesan kehidupan yang sempurna kepada pengikut.

Istilah "flexing" pertama kali digunakan pada tahun 1899 oleh Thorstein Veblen di bukunya yang berjudul The Theory of the Leisure Class: An Economic Study in the Evolution of Institutions. Veblen menggunakan istilah ini untuk menggambarkan bagaimana orang-orang kaya memamerkan kekayaan mereka untuk menunjukkan status sosial.

Jika terus dilakukan secara berlebihan, flexing dapat menciptakan Standar Kesempurnaan yang Tidak Realistis sehingan terdapat tekanan psikologis bagi banyak pengguna Instagram, erutama di kalangan muda. Saat pengguna terus-menerus membandingkan diri dengan gambar kehidupan sempurna dari orang lain, mereka sering kali merasa kurang puas dengan diri mereka sendiri dan hidup mereka.

Menurut sebuah penelitian yang diterbitkan dalam Journal of Social and Clinical Psychology, "penggunaan media sosial yang berlebihan, terutama yang melibatkan perbandingan sosial seperti yang terlihat dalam praktik flexing, dapat meningkatkan gejala depresi dan kecemasan pada remaja dan dewasa muda" (Hunt, Marx, Lipson, & Young, 2018).

Perasaan tertekan untuk selalu terlihat sempurna di setiap postingan di media sosial dapat memicu kecemasan dan perasaan rendah diri. Ketika melihat seseorang memposting foto-foto mereka di destinasi liburan mewah atau dengan barang-barang mahal, seringkali muncul perasaan bahwa hidup sendiri kurang berarti. Kebiasaan membandingkan diri dengan orang lain ini bisa membuat seseorang merasa tidak pernah cukup.

Untuk mengatasi agar tidak terpengaruh dengan masalah flexing yang berlebihan, terdapat beberapa tips yang bisa dipelajari, yaitu:

  1. Batasi Waktu Online : Membatasi waktu online dengan menetapkan batasan harian adalah langkah awal yang efektif. Misalnya, Anda bisa menggunakan fitur "batas waktu penggunaan" di Instagram untuk membatasi waktu Anda di aplikasi. Ini bisa mengurangi paparan terhadap konten yang mungkin membuat Anda merasa kurang atau tidak cukup.
  2. Ciptakan Keseimbangan digital dan kehidupan nyata : Jadwalkan waktu untuk bertemu langsung dengan orang-orang terdekat Anda, seperti makan malam bersama atau kegiatan rekreasi lainnya. Ini membantu agar Anda tidak terlalu terpaku dengan media sosial.
  3. Ikuti Akun yang Memberi Inspirasi : Daripada mengikuti akun yang memamerkan kekayaan dan gaya hidup mewah, pilihlah untuk mengikuti akun yang memberikan inspirasi dan nilai positif. Akun-akun yang fokus pada kesehatan mental, motivasi, dan pengembangan diri dapat memberikan konten yang lebih berarti dan mendukung. Contohnya, banyak akun yang berbagi cerita perjuangan, tips kesehatan, atau pengalaman hidup yang jujur dan otentik, yang dapat menjadi sumber inspirasi bagi Anda.
  4. Jaga Perspektif : Penting untuk selalu ingat bahwa apa yang Anda lihat di Instagram hanyalah sebagian kecil dari kehidupan seseorang. Foto-foto yang diposting seringkali dipilih dengan hati-hati dan diedit untuk menunjukkan momen terbaik saja. Dengan memahami hal ini, Anda dapat menghindari perangkap perbandingan sosial yang tidak realistis. Cobalah untuk fokus pada pencapaian dan kebahagiaan Anda sendiri, tanpa membandingkan diri dengan orang lain.
  5. Bagikan Kejujuran : Alih-alih hanya memamerkan momen-momen terbaik, bagikan juga tantangan atau proses pencapaian Anda dalam sebuah keberhasilan atau bagikan momen kegagalan yang membuat Anda bisa bangkit kembali. Kejujuran ini tidak hanya membantu Anda merasa lebih nyaman dengan diri sendiri, tetapi juga dapat menginspirasi orang lain untuk lebih jujur dan terbuka.

Penting bagi kita untuk menggunakan Instagram dengan bijak dan tidak terjebak dalam perangkap flexing jangan sampai kita terpengaruh atau membuat Standar Kesempurnaan yang Tidak Realistis berdasarkan postingan instagam yang belum tentu juga benar adanya. Hargailah kejujuran dalam berbagi di media sosial dan dukunglah budaya online yang mendukung kesejahteraan mental. Dengan begitu, kita bisa menjadikan Instagram bukan sebagai ladang kebahagiaan palsu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline