Ade Armando merupakan salah satu dosen Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia. Tak hanya sebagai dosen, beliau juga merupakan penggiat media sosial, terutama pada media sosial Twitter, kerap kali beliau menuai antusiasme netizen dengan cuitannya.
Pada 11 April 2022 lalu, Ade Armando yang mendatangi aksi mahasiswa di depan Gedung DPR terlihat babak belur dikeroyok oleh sejumlah oknum bahkan hampir ditelanjangi. Hal ini diabadikan oleh beberapa orang dan tersebar luas seketika di media sosial berupa video ataupun foto. Pada unggahan tersebut terdapat kata -kata yang menyumpahi Ade Armando seakan sebagai wujud selebrasi. Tentu kejadian ini sangat memprihatinkan.
Tak banyak pula, menimbulkan pertanyaan di benak masyarakat, salah satunya yaitu “Apa penyebabnya?”. Ade Armando merupakan seseorang yang kerap kali vocal menyampaikan oponinya di media sosial. Jika ditinjau lebih lanjut berdasarkan opini yang diungkapkan oleh Ade Armando di media sosialnya, memuat suara yang berbeda pada umumnya dan sangat sensitif. Salah satunya yang kontroversial di tengah masyarakat ialah opini mengenai “Solat 5 Waktu Bagi Umat Islam Tidak tercantum dalam Al-Qur’an”.
Opininya dimuat di media social Youtube. Ia dalam sebuah podcast di akun CokroTV mengatakan bahwa "Di dunia ini saja banyak sekali muslim yang tidak salat lima waktu. Apakah mereka mengingkari Islam? Saya sih salat lima waktu walaupun saya tahu sebenarnya di dalam Alquran tidak ada perintah salat lima waktu. Coba saja baca Alquran, Anda tidak akan menemukan ayat yang mengatakan sholat itu harus dilakukan lima kali sehari”. Tentu saja, opini tersebut menyenggol kepercayaan umat islam dan pada sejumlah umat islam menganggap hal ini sebagai bentuk penghinaan terhadap kepercayaannya.
Menurut saya, kejadian ini sesuai dengan bagaimana teori jarum hipodermik dalam sebuah komunikasi public. Hakikatnya, teori jarum hipodermik mengganggap bahwa media massa memiliki kemampuan kuat mempengaruhi seseorang dalam rentang waktu yang cepat. Sehingga, pesan-pesan yang dikirim oleh sang komunikator mempunyai pengaruh ataupun efek yang kuat dan menyebabkan adanya stimulus respon secara langsung. Pada teori ini pun, mengungkapkan bahwa peluru komunikasi yang ditembakkan oleh sang komunikator dapat membuat khalayak selaku komunikan menjadi tak berdaya.
Oleh karena itu, sebagai masyarakat yang baik di era digitalisasi ini, perlu adanya pemahaman lebih lanjut terkait kebenaran yang tersebar di media social. Pemahaman ini diiringi Bersama dengan pemikiran yang terbuka namun tetap berpegang teguh pada prinsip. Di tengah masyarakat Indonesia yang masih rentan polarisasi ini, perlu ditanamkan bahwa sejatinya, opini tidak harus selaras. Dan perbedaan opini tidak semestinya diselesaikan dengan Tindakan kekerasan. Dengan main hakim sendiri, menjadikan masyarakat Indonesia seakan terlihat seperti masyarakat tanpa adab.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H